Tentang Rindu

Tentang Rindu

Bila rindu ini masih milikmu
Kuhadirkan sebuah tanya untukmu
Harus berapa lama aku menunggumu
Aku menunggumu
.............................

Ah, sudahlah!
Jika Kau rindu, katakan saja!!! Jangan biarkan tangismu terus membasahi bumi. Aku juga rindu kok. Rindu untuk segera kembali pada hangatnya senyummu. Tapi, redahkanlah dulu tangismu agar aku tak kehujanan pada jalan menuju hatimu. Dan satu lagi, jangan biarkan gerimis di pagi ini merintikkan rindu di ingatanku tentang kisah cinta di SMA dulu yang akhirnya membuatku kembali memeluk hujan atas rindu yang menyesakan dada dan tangis yang tak tertampung bersama kenangan yang telah usai.

Kopi, senja, hujan dan kenangan

Kopi, senja, hujan dan kenangan adalah empat hal yang tak pernah hilang dari pikiranku kala rindu menjengukku. Dan andaikan ia datang kembali bersama kenangan yang tak ingin kulupakan, aku akan berusaha menangkalnya dan menyuruh rindu ini untuk pergi. Ya, pergilah!! Karena  telah disajikan udara baru bagimu selepas hujan untuk kau hirup pada jiwa yang mungkin telah mekar dilain hati. Karena tidak ada rindu yang suka dibiarkan menunggu.

Bahkan, malam pun tak mampu menjelaskan tentang rindu yang memberi sapa pada sosok yang menyendiri. Mungkin hanya segelas kopi dan rintik hujan yang mampu memberanikan diri mengucapkan selamat malam untukku yang berusaha menjumlahkan setiap gerimis yang jatuh sebagai rindu, meski hanya didalam hati. Entah rindu pada siapa. Yang pasti rindu itu masih milikmu, walau Kita pernah begitu dekat, tetapi hati kita tak pernah terikat. Meski terbilang lampau, dan tak terhitung oleh kelender waktu, rindu ini terus menjadi kesepian yang kesekian, yang entah nanti menjadi sejarah yang di ceritakan kembali lewat embun pagi yang bergerak tulus, atau malah dilupakan saat hujan menghujam dengan derasnya.

Mungkin pagi selalu punya cara terbaik untuk memberikan sapaan kepada sang pecandu rindu lewat tunas yang memberi sejuk ataupun lewat mendung yang sedang bergemuruh yang mampu membuat hati semakin rindu. Harus kuakui bahwa memang mendung kali ini tidak bercerita banyak. Dia hanya tersenyum pada kemarau yang tertidur lelap bersama rindu dan perasaan yang tak terucap. Tetapi, tanpa kau sadari rintikmu mampu membangunkan Aku dalam tidurku. Hingga akhirnya deras hujan pun ikut membasahi hati yang semakin rindu. Entahlah, mungkin waktu tak menyiapkan ruang tunggu yang cukup bagi sang perindu.

Mungkin benar kata mereka bahwa jatuh cinta tak pernah bisa dikatakan biasa karena ada rindu yang jatuh di terik sepi yang lupa berteduh. Ada bosan yang selalu bertolak di tiap angan yang begitu menginginkan. Serta, ada sakit yang tak pernah membekas di tiap hati yang selalu ikhlas. Bahkan, Aku mencintaimu sederas hujan, namun kau selalu saja berteduh untuk menghindarinya. 

Barangkali sudah sangat susah untuk menjelaskan mengapa aku bisa mencintaimu. Sebab, salah satu alasan yang sering dijadikan tameng terbaikku adalah mungkin karena takdir Tuhan yang belum pasti kuterka dengan akal sehatku. Tapi mungkin juga karena ada rasa yang pernah mati dan bersarang di hatimu tanpa arah yang pasti antara nikmat dan lara, lalu terhempas pada sebuah tanya: "Mengapa harus kamu???" 

Padahal, kau sendiri sudah tahu jawabannya. Karena kamulah penyebab segala rindu. Kamulah penyebab rindu yang berujung pada saling menyalahkan dan saling mencaci satu sama lain hingga akhirnya tak ada lagi saling sapa akibat kegagalan menanggapi rasa. Ya, itulah kesalahanmu. Dan karena itu pula aku mengerti bahwa senyummu adalah dinding rindu tertebal yang tak bisa kuhancurkan dan kumusnahkan. Aku bahkan hampir gila karena menginginkanmu sekali lagi sebab tak ada rindu yang tak lelah menunggu bahkan untuk rindu yang tak bertuan sekalipun.

Dan pada akhirnya setiap orang terluka ingin kembali jatuh cinta.

Salam dariku yang berusaha menangkal rindu



Comments

Popular posts from this blog

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)

Membaca BELIS sebagai Suatu Kemarahan