SEMESTA
![]() |
Jika kuharus mendoakanmu, maka pada Semestalah Aku berharap: "semoga Semesta menyayangimu" |
Aku ingat jelas hari itu. Hari dimana Kau memintaku untuk membuatkan puisi tentang "semesta" kala kita sedang asyik-asyiknya beradu pendapat tentang siapa yang harusnya "peka" dan siapa yang seharusnya memberi "kode". Ya, KITA sedang beradu pendapat tentang sebuah kode untuk peka.
Hari itu seakan menjadi tanda bahwa memang sudah seharusnya kita saling mengerti. Mengerti untuk dimengerti dan mengerti untuk saling memahami. Sayangnya "semesta" tak mendukung hingga akhirnya "kode" yang Kau beri belum menyentuh pangkal "peka"ku.
Aku ingat jelas, kala itu Kau muat story singkat di Whatsappmu yang menjelaskan dimana keberadaanmu. Saat itu Kau sedang berada di pantai.
"sedang apa?"
Tanyaku singkat, yang diikuti jawaban darimu.
"Lari sore"
jawabmu singkat namun menjadi gerbang yang membuka percakapan kita sore itu. Kemudian kita seakan nyaman dalam basa-basi permainan kata.
"Lihat senja yuk!"
Kataku mengajak, padahal Kau tau persis tempatku berada berbeda denganmu tapi jaraknya masih bisa dijangkau.
"Bagaimana?"
Pertanyaanmu yang entah karena bingung atau memang menginginkan pertemuan kita bersama senja disore itu terwujud.
"Kau lihat senja dari sana. Dan aku dari hatimu"
sebuah jawaban yang penuh pertimbangan kulakukan. Kemudian direspon dengan sebuah emoji malu-malu.
Ketika kutanya "kenapa?" atas emoji itu, rupanya jawabanmu tak mampu kujabarkan dengan rasa bahagiaku. Story singkat di whatsappmu yang kulihat telah menjelaskan semuanya. Bahagiaku. Dan mungkin juga bahagiamu.
Jawabanmu sore itu terus terngiang diingatanku. Aku tak mampumenafikkan rasa bahagiaku tatkala mengingat jawabanmu yang penuh arti itu. Kemudian kulihat lagi story singkat di whatsappmu, sebuah screanshoot tentang percakapan kita sore itu. Entah tujuanmu hanya ingin menunjukkan padaku atau tidak, yang jelas setelah kulihat, beberapa menit kemudian Kau menghapusnya dari storymu. Namun tidak dari ingatanku.
Kau tahu.........
Sejak kulihat puisi indah pada fotomu, saat itu juga aku menaruh rasa padamu. Entahlah. Aku sendiri tidak dapat menjelaskannya. Berawal dari rasa kagum, hingga kekaguman itu berubah menjadi sebuah "rasa". Tak ada pilihan lain bagiku agar rasa itu mampu bertahan lama. Pada sang waktu aku bertaruh, berharap jua agar Semesta mendukung.
Dan Kau tahu......
Senyummu kusambut dengan rasa nyaman, meski nyaman itu terus menjebakku. Dan sapaanmu kusambut dengan rindu. Padahal Kau hanya datang menyapa dikala senjamu hanya ditemani kopi tanpa dia. Ya, tanpa Dia. Dihatimu.
Harus kuakui bahwa Kau mampu meluluhkanku sejak waktu itu. Sejak puisi indahmu Kau goreskan pada wall FB bersama sebuah foto. Hingga membuatku berharap , namun nyatanya ruang itu tak pernah Kau beri. Dan lagi-lagi "semesta" tak mendukungku waktu itu.
Lucu yah....
Ternyata untuk suka itu mudah sekali. Cukup lihat foto-fotomu, sudah membuat hatiku senang.
Itulah aku....
Aku yang suka melihatmu tersenyum, aku yang suka dengan caramu bicara, Aku yang suka membaca setiap postingan diberanda sosmedmu, Aku yang suka semua tentangmu, dan Aku yang suka menunggumu hingga "Semesta" mendukung.
Aku memilih diam, ketika Kau goyahkan hatiku dengan senyummu. Meski nyatanya senyum itu berada dibalik layar hpmu. Hanya karena sebuah emoji bermakna ganda itu, Kau telah berhasil memporak-porandakan pertahanan hatiku.
Aku memilih diam ketika senyummu melintasi pikiranku. Bersama kopi pagi, kupikirkan sebuah cara agar Kau tahu tentang "rasa" ini tanpa mengorbankan pertemanan kita yang baru saja kubangun. Sebab, pikirku "mungkin dengan menjadikannya sebagai rahasia antara Aku dan Semesta, akan dapat mempercepat usahaku untuk mencintaimu". Ya, mencintaimu. "Atau malah melupakanmu" pikirku lagi.
Jika kata orang bahagia itu sederhana, maka Aku memilih membenarkan kata tersebut. Sebab bahagia memang sederhana. Sesederhana berharap Kau suka padaku "kalau Semesta mendukung". Tapi entahlah....Yang jelas, kamu ke Aku, kita sama-sama tahu. Tapi, Aku ke Kamu, hanya Aku dan semesta yang tahu.
"Tidak semua rasa bisa diutarakan dengan mudah"
Begitulah bunyi nasihatku pada seorang teman ketika Ia terjebak rasa, tersandung rindu dan jatuh jua karna cinta. Dan nyatanya memang demikian. Tidak semua rasa bisa diungkapkan dengan mudah. Jalan satu-satunya agar Kau dan Aku terus berteman adalah dengan memilih diam. Bahkan ketika diberi kesempatan berlarut-larut chat denganmu pun Aku lebih memilih agar Semesta merestui.
"Semoga semesta mendukung" kata yang selalu Kuungkapkan hanya karna gagal bicara jujur padamu. Hingga pada akhir Kau memilih bertanya padaku.
"Semesta ini apa sih?"
Katamu dengan penuh rasa penasaran. Namun, Aku malah menangkap pertanyaanmu sebagai suatu tanda bahwa Kau sedang bosan. Sebab ketika pertama kali kata "semoga semesta mendukung" kuucapkan, Kutemukan rona bahagia diwajahmu. Namun kini, Kau bertanya dengan warna yang berbeda, yang tak seperti biasanya yang turut meng-amin-kan.
"Menurut wikipedia, semesta merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan seluruh ruang waktu kontinu tempat kita berada, dengan energi dan materi yang dimilikinya pada pertengahan pertama abad ke-20"
demikian Aku menjawab pertanyaanmu. Sebuah jawaban yang mungkin membuatmu semakin bosan. Tapi entahlah. Hanya Kau yang tahu bosanmu.
Dan pada akhirnya, akhir bulan juni rupanya telah merubahmu. Merubah sikapmu padaku. Dan mungkin merubah rasamu. Ya, semuanya berubah. Harapan akan hadirnya "Semesta" yang mendukung tak lagi menyapaku. Bahkan senyummu yang indah itu tak lagi kurasakan hangatnya.
Mungkin Kau hanya ingin dekat tanpa adanya ikatan, sebatas berteman tanpa menguntungkan rasa. Semoga aku baik-baik saja. Dulu.... dulu banget. Setiap kali chatan, ada rasa yang tidak bisa diceritakan lewat goresan kata. Ada getaran yang dirasakan dari seberang. Dan ada mata yang rela menahan kantuk hanya untuk chat denganmu.
Ah itu dulu....
Sebelum "Semesta" memilih memisahkan kopiku dengan senjamu. Sebelum Kau memilih jarak diantara kita tak lagi sedekat dulu. Rasanya cerita kita tentang senjamu di pantai itu seakan baru kemarin, ketika tanpa sengaja Kau hancurkan hatiku. Berkali-kali Kubilang "You killing me softy" namun, Kau tak lagi "peka" seperti dulu. Kupikir Kau tahu perubahanku. Sebab yang menyebabkan adalah dirimu, namun Kau tetaplah Kau. Yang tak mau peka. Yang tak mau peduli dengan rasa yang Kau bangkitkan.
"Harinya lagi buruk, ya?"
Tanyamu setelah kukirimkan emoji sedih untuk menanggapi foto bahagiamu.
"Yeah"
jawabku singkat.
"Sejak beberapa hari yg lalu. Kala semesta memisahkan hangatnya kopi dan senja"
lanjutku lagi. Kali ini, Aku pasrahkan saja jawaban ini yang mengalir begitu saja bagaikan air. Sebuah jawaban yang seharusnya Kau tahu kenapa Aku menjawab demikian. Tapi yah mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mempersalahkanmu atas ini semua.
Barangkali "Semesta" belum mendukung. Barangkali pula ini memang takdir sang "Semesta" agar Kau hadir hanya untuk sementara. Tanpa menyentuh hati, namun meninggalkan luka dan tawa yang terpatri dalam ruang ruang hati. Mengalir dalam nadiku. Kemudian mati. Sebab Kita adalah ruang dan dimensi yang berbeda, bila disatukan akan terjadi letupan amarah dari mereka yang tak menginginkannya.
Kita memang sebuah ruang dan dimensi yang berbeda, berharap waktu kan mempersatukan kita.
Nyatanya, Semesta lebih memilih takdir daripada kita. Sebab yang berharap, hanyalah Aku seorang. Dan yang mendamba hadirmu, ribuan. Karena itu Kau memilih dia diantara Aku dan rasa ini.
Hmmmmm akhir kata, boleh kupinjam puisimu? Sebuah puisi yang sempat kusimpan digalery HPku:
"Dan Dia terlampau berbeda...,
Semoga "Semesta" selalu menyayangimu.
~The end
Ditulis sejak semesta memilih untuk memisahkan kopiku dengan senjamu
Comments
Post a Comment