MAAF DAN TERIMA KASIH



Aku mengenalnya pada sebuah kesempatan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Sejak pandangan pertama aku meyakini bahwa wanita inilah yang dititipkan Tuhan untukku. Tapi sejujurnya aku tak pernah mempercayai bahwa cinta pada pandangan pertama itu ada. Yang kuyakini adalah cinta yang dipertemukan setelah adanya pertemuan awal. Tetapi, semuanya berubah ketika Aku menatap matanya. Ah.... sungguh diluar dugaanku. Menatap matanya saja sudah membuatku mempercayai hal yang selama ini tak pernah kupercayai.

Ya. Aku telah jatuh cinta padanya. Pada jumpa pertama itu. Kala itu, senyumnyalah yang menyegarkan jiwa setelah perjalanan jauh yang memabukkan, udara yang pengap dan rasa lapar yang menggebu.

Setelah pertemuan itu, hubunganku dengannya semakin intens. Chatting demi chatting pun tak dapat kami hindari meski yang diperbicangkan adalah hal-hal yang sudah diperbicangkan di hari lain. Seakan hukum Newton yang pernah kupelajari dulu bekerja pada diri kami. Ada aksi, ada reaksi. Ia tak pernah bosan membalas chatku. Demikian juga sebaliknya. Aku selalu menantikan balasan chat darinya.


Ia tiba-tiba saja memenuhi relung hatiku dan menghiasinya dengan warna yang berbeda, menelusup ke setiap celah pikiranku dan membawanya pergi bersama anganku, merasuki alam bawah sadarku dan terus menggodaku dialam mimpi.

Bersamanya aku menemukan diriku yang lain. Aku menemukan begitu banyak persamaan sekaligus perbedaan dengannya. Aku dan dirinya sama-sama keras kepala, sama-sama  bandel, sama-sama mencintai pantai. Aku dan dirinya juga sama-sama menyukai senja. Perbedaan kami hanya terletak pada prinsip kami sendiri. Aku terlalu bersikeras untuk mencintainya, dan Dia terlalu takut untuk melukaiku.

Ia pernah berkata padaku kala kami duduk berdua di tepi pantai sambil menikmati gelombang air laut yang menjadi kesenangan para peselancar. "Umbu..." Katanya. "Bila Kau rindukan Aku, datang saja ke pantai! Di sana Kau akan merasakan kehadiranku" lanjutnya lagi. Aku diam, tak bergeming. Aku tahu saat ia berkata demikian sesungguhnya Ia tengah menyatakan perasaannya padaku bahwa Ia akan pergi sejauh mungkin meninggalkan aku.

Aku tahu, karena Ia telah berulang kali memaksakan hatinya untuk pergi dariku namun Ia tetap saja kembali dengan alasan rindu. "Umbu! Aku rindu" katanya lagi setelah beberapa waktu yang lalu Ia putuskan untuk pergi. Dan tentu saja aku menyambutnya dengan riang gembira.

“Suatu waktu akan tiba saatnya...
Bukan aku yang menggandeng tanganmu
Bukan aku yang akan bersandar ketika lelah menuju lelap di bahumu
Bukan aku lagi yang menjadi fokusmu
Dan bukan aku pula yang akan kau semogakan untuk menjadi titik di akhir cerita
Ya, cepat atau lambat akan tiba saat dimana kita memutuskan mengakhiri alinea yang telah kita tulis bersama

Kamu tahu?
Aku tentu akan rindu menikmati masa bersama saat kita tertawa dengan renyah
Yang mungkin nanti tak kudapat walau hanya remah

Kamu tahu?
Aku akan selalu rindu untuk merindu kamu yang dirindu
Meskipun nanti rindu ini tak berbalas

Dan ku harap kamu tahu..
Selalu ada kamu yang akan bebas bertamu dalam beranda jiwaku yang naif
Ku tunggu kabar bahagiamu yang alasannya tentu bukan aku.

Setelah Aku membaca puisi kirimannya berjudul "Esok Akan Terseok", pikiranku melayang. Terbang ke pelupuk lara, diujung takdir. Merobek hati, memberenggus jiwa, namun Aku tetap tegar. Karena cinta memang tak harus memiliki.

"Maaf dan Terima Kasih, Cinta"...,



~BERSAMBUNG~



Denpasar, 01 Desember 2018

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)

Membaca BELIS sebagai Suatu Kemarahan