Posts

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Image
Ini kali ke sekian saya berkunjung ke Desa Napu, Kecamatan Haharu. Namun, untuk menulis lebih jauh tentang Napu, barangkali ini baru yang kedua. Saya awali tulisan ini dengan sebuah cerita singkat, tentang apa yang membawa saya ke desa ini.  Tiga hari sebelum hari ini, saya melihat status WhatsApp seorang teman yang berasal dari Desa Napu. Ia mengunggah foto buah-buahan yang berwarna merah kehitaman. Dalam caption singkatnya, ia hanya menulis gambar buah berwarna merah.  "Buah apa ini dem nama, ibu guru? Macam saya penasaran dem rasa. Kemarin ada teman pulang dari Napu, story ini juga," tanya saya sambil menjelaskan bahwa saya pernah lihat buah ini dalam story teman yang lain.  'Buah Nahu, kaka." "Dem bahasa Indonesia apa? Biar saya coba cari di google. Tidak ketemu kalo cari buah nahu di google." "Saya tidak tahu juga, kak. Saya taunya buah Nahu saja na."  Namanya Wua Nahu. Kalau diterjemahkan lurus ke dalam bahasa Indonesia, artinya ...

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

Image
Beberapa waktu lalu, sebuah postingan tentang angka kekerasan di Sumba Timur menarik perhatian saya. Sebelum postingan dalam bentuk video ini dibagikan di media sosial oleh pengguna Facebook Pro, pada 5 April lalu saya sempat bertanya pada kk Rambu Dai Mami , ketika ia menuliskan status tentang 45,5% penghuni rumah tahanan Waingapu adalah pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Itu artinya, dari 191 tahanan di Sumba Timur, 87 di antaranya terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Angka ini menggambarkan situasi yang sangat mengkhawatirkan.  Saya tidak ingin membicarakan betapa mengerikannya angka-angka tersebut. Kita tahu, bahwa melihat angka yang sangat amat tinggi itu, Sumba Timur, yakin saya, sudah darurat kekerasan seksual. Namun, dlam tulisan ini, saya tidak ingin membicarakan angka-angka itu. Saya ingin membicararakan hal yang lain, yang, menurut saya, memiliki pengaruh besar terhadap tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak (di Waingapu):...

Membaca BELIS sebagai Suatu Kemarahan

Tanggapan atas tulisan Nenansi Grasiani  Saya membaca tulisan seorang teman yang berjudul BELIS . Benar, judul tersebut ditulis dengan huruf kapital, lalu diberi keterangan agar pembaca membacanya tanpa menggunakan emosi. Saya membaca tulisan ini sekali, kemarin. Lalu, sekali lagi ketika ingin menuliskan ini. Dan, sekali lagi ketika selesai bertemu penulisnya.  Kepada para pembaca, kata "jangan pakai emosi," diperintahkan. Lalu, ketika saya membaca tulisan ini berkali-kali. Ada emosi di dalamnya. Ada gelora yang membara. Ada sesuatu, yang, memang kalau dibaca membuat hati berdebar. Secara keseluruhan, ini adalah tulisan dengan nada emosional yang kuat, ditulis dari perspektif feminis dengan kemarahan terhadap sistem yang merugikan perempuan. Pesannya jelas: perempuan tidak butuh belis untuk membuktikan nilai mereka, dan mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai properti hanya karena ada transaksi dalam pernikahan. Eits, tunggu dulu. Kau hanya akan merasakan itu bila kau pa...