SEPETAK SURGA BERNAMA ANDA LURI
Penggalan judul diatas, terinspirasi dari salah tulisan yang termuat dalam sebuah buku "Pesta Emas Anda Luri" yang ke-50 tahun. Entah siapa pengarangnya, saya sudah lupa. Tapi ada beberapa kalimat yang saya ingat hingga saat ini.
"Aku punya mimpi, maka:
Aku mohon, PELUKLAH MIMPI-MIMPIKU.
Aku punya kebanggaan, maka:
Aku berpesan, RAWATLAH KEBANGGAANKU.
Aku punya kerinduan, maka:
Aku berharap, AJAKLAH AKU BERSUA DENGANMU.
Dan Aku punya harapan di tanah ini, maka:
BERIKANLAH AKU SEPETAK SURGA BERNAMA ANDA LURI".
Sedikit kisah tentang Anda Luri, tentang keakraban cinta yang mengalir di dalamnya. Dan tentang rindu yang telah terobati setelah sekian lama tak berjumpa dengan Almamater tercinta.
Untuk menceritakan tentang Anda Luri, saya tidak tahu harus memulainya dari mana. Inspirasi itu tiba-tiba muncul setelah diajak teman untuk ke sekolah, pagi tadi.
So, tanpa basa-basi lagi, kupersembahkan cerita ini untukmu insan Anda Luri. Selamat membaca.________________________________________________
Malam semakin larut. Hembusan angin sepoi sepoi membuat udara terasa semakin dingin. Kulirik jam pada layar hp sudah menunjukkan pukul 00.17. Nyala api tak mampu membendung dinginnya malam ini. Kuraih sebatang tangkai kayu kecil yang sedari tadi menggigil mengikuti ritme udara malam ini seraya memanggi "bakar aku... bakar aku...". Nyala api semakin besar. Dan waktu pun terus berlalu. Aku bergegas tidur setelah mataku memaksa ingin berjumpa lebih cepat dengan sang kasur, meski kutahu dingin ini terus menggodanya untuk terus bertahan menemani nyala api yang semakin meng-asyik-kan.
Pukul 00.45 aku sudah berada dalam kamar. Di ruangan gelap tanpa cahaya. Sebelum aku memutuskan untuk terlelap jauh dalam mimpi, satu per satu pesan whats app yang hanya berakhir centang dua biru kubaca. Tak terasa mataku terpejam. Jatuh di alam mimpi. Saat tersadar, dari arah jenjela kulihat langit sudah cerah. Matahari telah berajak dari peraduannya. Pesan whats app yang kubaca semalam rupanya masih ada. Bergegas aku bangun dari nyamannya tempat tidur setelah kusadar bahwa jam dilayar hpku telah menunjukkan pukul 09.12. "Ah mimpi apa aku semalam, sampai telat bangun begini?" Celotehku dalam hati.
Setelah benar-benar tersadar dari pelukan malam, kuraih sebuah ember untuk menyiram tanaman rumput jepang yang kutanam sejak sore kemarin. Kebetulan air yang mengalir di selokan samping rumah lumayan banyak. Keringat pagi ini sembuatku semakin segar. Sejenak aku beristirahat setelah semua rumput jepang kusiram. Pesan whats app yang entah dari kapan mengeram dilayar hpku, kubaca. Tak ada yang istimewah. Hanya sapaan "selamat pagi" dari group group whats app.
Tiba-tiba pesan masuk dari seorang teman. "Dimana?" Katanya. "Di rumah. Di kawangu" balasku. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan "Bagaimana?"
"Ayo ke sekolah. Om buang suru sa ke skolah, cuman tdk ada teman ni" ajaknya yang kemudian kubalas "sabar sa cuci muka do" setelah beberapa pesan basa basi konyol kami.
Cuaca hari ini begitu panas setelah aku tiba dengan selamat tepat di depan gerbang sekolah. Padahal dalam perjalanan, cuacanya sedikit mendung. Sempat rintik hujan berjatuhan dengan lembut membawa rindu. Namun tak bertahan lama. Ia bahkan lebih cepat daripada "dia" yang hanya datang untuk sekedar transit dihatimu. πππ
π
Di depan meja piket, kami (masih) disambut dengan senyuman hangat mantan guru-guru kami. Senyum itu masih sama seperti dulu. Bedanya hanya terletak pada hangatnya senyum mereka. Kalau dulu, senyum seperti itu merupakan senyum sehangat mentari. Kalau sudah siang, panasnya mulai kentara. Menyengat sampai ke pangkal ubun-ubun. Apalagi bagi "kami" yang tidak mengerjakan tugas atau Pekerjaan Rumah πππtapi kini senyum itu sehangat rembulan. Indah menawan. Penuh pesona.
Meja piket itu menjadi saksi bisu, bukti kehangatan antara guru-guru dan murid (juga alumni) di Anda Luri. Karena di sanalah biasanya alumni yang berkunjung duduk lebih lama. Selepas berbasa basi sejenak bersama guru-guru, kami menyusuri lorong Anda Luri (bukan lorong cinta yahππ). Temanku, Yordan memenuhi panggilan Pater, sedangkan aku datang untuk mengagumi almamaterku. Beruntung tak ada guru yang begitu memperhatikan penampilanku. Hanya pujian yang dilontarkan "Ko semakin ganteng saja" yang membuatku tambah percaya diri meski tak mandi. Wkwkwkwkkw
Anda Luri masih seperti dulu. Gedung tua. Bangunan kokoh. Masih menyimpan sejuta rindu di sana. Apalagi ketika melewati lorong cinta Anda Luri. Seramai apa pun tempatnya, kenangan tentang DIA masih saja terngiang dalam ingatan. Eaaaaaπ
ππ
Sebagai seorang yang pernah menjadi bagian dari Anda Luri, wajar bila kita membanggakan sekolah kita tercinta. Dan sudah sepatutnya untuk kita boleh berbangga karena Anda Luri boleh dikatakan, telah menjadi tonggok sejarah perkembangan pendidikan di pulau Sumba ini. Berjuta-juta anak negeri marapu menempuh pendidikan di sekolah ini, dari ujung melolo sampai ujung kodi telah mencatat namanya dengan tinta perjuangan.
Dan hingga kini, Anda Luri telah banyak mencetak orang-orang besar, bukan saja di tingkat daerah, seperti dr. Kornelis Kodi Mete (Mantan Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya_juga Bupati terpilih saat ini), dr. Matius Kitu (Mantan Wakil Bupati Kabupaten Sumba Timur), tetapi juga sudah berkiprah di tingkat nasional, antara lain Ir. Umbu Mehang Kunda (Alm) yang merupakan mantan anggota DPR - RI dan mantan Bupati Sumba Timur, serta Ir. Emanuel Babu Eha (mantan wakil bupati Sumba Timur dan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pusat).
Tentu masih banyak lagi mereka yang telah berhasil, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Entah jadi apa, yang jelas mereka telah membawa pelajaran berharga dalam menempuh hidup. Dan jika mereka yang telah "menjadi orang" itu menceritakan kembali kisah perjuangan mereka saat menempuh pendidikan di sekolah ini, maka kami anak-anak yang baru seumur jagung ini akan dengan senang hati mendengar kisah indah di masa silam yang pastinya menyentuh dan terbakar semangat sebab "ANDA LURI ADALAH SEPETAK SURGA" yang tak pernah lekang oleh zaman.
Jika harus berkisah tentang "Sepetak Surga Bernama Anda Luri", rasanya aku tak sanggup menceritakannya pada kamu. Tapi, kata pak guru yang sering muat saya di motor pas pi sekolah dulu: "Jika suatu saat kami tak di sini lagi, setidaknya kami bisa bernostalgia tentang cinta. Cinta padamu ANDA LURI"
..
.
.
.
Nb: Bapa penulis "sepetak surga bernama Anda Luri " deng pak guru, ijin pinjam kata-kata dulu eeeeππ
Comments
Post a Comment