The Magician's Elephant

"Believe is a great and invisible thing. It comes over us like sleep. We strungle along the edges, fighting it for reasons we can not name, until, as with sleep, we lose ourselves. We stoped and we restorated."

~ Fortune Teller

Film animasi ini berkisah tentang Peter, seorang anak yatim-piatu, yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya saat terjadi perang. Ia kemudian dibesarkan oleh seorang prajurit veteran perang, Vilna Luts yang mengajari Peter cara bertahan hidup ala prajurit seperti dirinya. 

Suatu hari, Peter disuruh pergi membeli ikan dengan uang hanya satu koin pemberian Vilna Luts. Namun, saat hendak membeli ikan kecil, uang koinnya jatuh. Dari sinilah awal mula Peter bertemu Fortune Teller, seorang peramal yang meramalkan bahwa saudari perempuannya Peter masih hidup.

Di sini, konflik yang membawa Peter berpetualang muncul, selain konflik Peter dengan Vilna Luts, ayah angkatnya seorang prajurit veteran yang tidak mempercayai mimpinya. Pertanyaan Peter pada peramal harus betul-betul datang dari pertanyaan yang ditanyakan selama ini. Sebab, peramal hanya menjawab bila ada koin. Aturannya, satu koin, satu jawaban. 

"Apakah saudara perempuan saya masih hidup?" tanya Peter pada peramal. Ia kemudian dibiarkan terus dalam tanda tanya, sebab jawaban si peramal adalah Peter harus ikuti gajah, di mana dalam kota itu tidak seekor gajah pun ada. Tapi di sinilah menariknya film ini. Saya sendiri menangkapnya sebagai, "jangan pernah berhenti bermimpi," atau, "jangan pernah berhenti bermimpi." Selagi masih bisa berjuang, usahakan saja dulu. 

Dalam keputusasaan, kita diajarkan untuk tidak kehilangan harapan. Bahkan ketika sesuatu itu terdengar mustahil untuk diwujudkan. Persis seperti yang ditunjukkan Peter, ketika ia menginginkan gajah yang dikatakan oleh si peramal. Namun, karena suatu kejadian-kegagalan pertunjukan sulap, gajah itu dikurung bersama pesulap yang mendatangkan gajah di tempat yang tidak pernah ada gajah itu. Gajah itu boleh didapat oleh Peter, asalkan ia sanggup melakukan tiga tugas mustahil dari sang raja. 

Tugas pertama yang diberikan raja adalah sebuah pertarungan. Lawannya adalah prajurit terbaik bernama Sersan De Smedt. Bagaimana mungkin seorang anak belasan tahun melawan salah satu prajurit terbaik? Bak Daud melawan Goliath, pada akhirnya pertarungan ini dimenangkan oleh Peter tanpa pertarungan. Ya, katakanlah demikian, karena Peter terus berlari menghindari kejaran Sersan De Smedt. 

Dalam kebuntuannya, Peter mengingat ayah angkatnya yang adalah mantan prajurit ketika bercerita tentang dongeng yang tidak dipercayainya. Rupanya Sersan De Smedt adalah teman Vilna Luts yang buku dongengnya pernah dicurinya. Maka, ide Peter adalah mengembalikan buku curian ayah angkatnya kepada De Smedt. Di sini pertarungan itu berakhir setelah Peter mengembalikan buku dongeng miliknya. Ada yang menarik menurut saya dalam adegan ini, bahwa sedewasa apapun seseorang, pasti ada satu titik di mana ia merindukan masa kekanak-kanakannya. 

Tugas kedua pemberian raja adalah Peter harus terbang. Ini benar-benar tugas mustahil. Dalam kemustahilan ini, kita disuguhkan pertunjukan di mana "seandainya" adalah jawaban paling masuk akal untuk menemukan jawaban atas segala yang buntu. "Seandainya dia juga mencintai saya," ya, persis seperti itu, tapi ini bukan dari Peter. Ini dari saya, sih. Pada tugas ini, Peter memberanikan diri naik di atas gedung yang tinggi. Disaksikan oleh seluruh penduduk, ia menjatuhkan dirinya. Orang-orang yang hadir terlihat begitu takut. Namun, saat melayang jatuh, Peter mengeluarkan parasutnya, yang pada akhirnya ia bisa terbang. 

Tugas terakhir adalah, Peter harus sanggup membuat tertawa The Countess, seorang bangsawan perempuan yang telah kehilangan tawanya sejak kematian saudaranya. Tugas terakhir ini memang berat, sebab pada tugas inilah, Peter benar-benar gagal. Sisanya, sila nonton sendiri filmnya, karena saya tidak sedang membicarakan sinopsis filmnya, tapi lebih pada apa yang saya rasa baik untuk dibagikan.

Film yang ditulis oleh Martin Hynes dan Kate DiCamillo mengajari kita perihal percaya. Jika kau percaya pada seseorang, maka dunianya akan berwarna. Namun, jika kau tidak percaya pada seseorang, dunianya bisa dihantui oleh rasa sakit. Persis seperti yang terjadi pada si pesulap ketika pertunjukan sulapnya tidak dipercayai oleh orang-orang yang menonton. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggunakan mantra paling kuat, yang menyebabkan gajah jatuh dari langit, mengenai kaki seorang relawan hingga membuatnya lumpuh. Dalam pengakuannya, si pesulap berkata, "Nyonya LaVaughn, aku membohongimu. Aku tidak bermaksud menyakitimu, atau membuat gajah muncul, tapi aku juga tak membuat bunga lili. Saat aku berdiri menghadap kalian, ketidakpercayaan kalian, itu menghancurkan hatiku...," 

Pada titik ini, sebenarnya si pesulap mau mengajarkan bahwa sesuatu yang tidak mungkin itu bisa memungkinkan. Asalkan ada kepercayaan. Jadi, kalau dia bilang, "aku mencintaimu," cukup kau percaya saja. Sebab, yang membuktikan itu tidak benar, adalah dirinya sendiri. Karena kita bisa menilai seseorang dari kata-kata yang diucapkannya, eh, malah curhat jadinya. 

Di akhir cerita, gajah yang jatuh entah dari mana itu, bisa pulang ke rumahnya, berkumpul bersama keluarganya. Begitu juga dengan Peter, yang akhirnya bertemu adiknya. Kehidupan menjadi bahagia. Pesulap yang dihukum karena menjatuhkan gajah, akhirnya dibebaskan dari penjara. Dan, lebih dari itu, ia berteman baik dengan seorang relawan yang dibuatnya jadi lumpuh. Si prajurit paling tangguh De Smedt kembali menjadi pendongeng, dengan buku miliknya yang berasal dari ibunya. 

Pada titik ini, "tidak ada yang mustahil bagi orang percaya," saya kira benar adanya. Benar, apabila kau tidak hanya percaya saja, tetapi juga berusaha mewujudkan apa yang kau percayai. Tambahan pesan berspronsor: "kalau dirinya tidak mempercayaimu bahwa kau mencintainya, biarkan saja, biarkan ia hidup dalam ketidakpercayaan, sambil pelan-pelan kau wujudkan ketidakpercayaan itu menjadi sebuah kepercayaan."









Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)