NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)
NATAL TANPAMU
(MAMA PAPA)
"Jauh di dusun yang kecil
disitu rumahku
Lama sudah kutinggalkan
aku rindu
Tahun tahun tlah berlalu
menambah rinduku
Nantikan kedatanganku dusunku"
Lantunan lagu "kenangan masa kecilku" mengawali hariku dipagi ini. Sambil ditemani segelas kopi hitam nan pekat aroma khas Sumba seakan menambah rinduku untuk kembali pada kampung halamanku, Sumba tanah Marapu. Dan berharap bulan December ini memberikan harapan tentang sebuah Natal yang indah. Ya, Natal telah tiba. Segala persiapan telah disediakan. Tapi gejolak dihati masih saja mengganggu. Bagaimana tidak??? Natal bagi anak rantau yang tidak bisa pulang itu hanya terdiri dari 3 kata saja, yakni: rindu, rindu, dan rindu. Aku cuma rindu. Itu saja. Tidak lebih. Karena sejujurnya hatiku telah lelah dan letih letih menahan rasa rindu pada keluarga tercinta. Aku lelah menunggu waktu itu tiba dimana kami bisa berkumpul dan bercanda dengan ketulusan cinta. Namun apa daya, aku hanya bisa menitipkan rindu pada hembusan angin yang menyapa kepada mereka yang kucintai.
Aku merenung sejenak menatap lampu jalanan yang pancaran cahayanya sudah mulai redup. Ku telusuri kembali ingatanku yang hampir berdebu dengan perlahan tanpa berniat untuk cepat-cepat segera berlalu dari masa laluku. Aku masih ingin tetap menikmati sore ini, namun aku tak tahu bagaimana caranya. Bukan karena Aku sedang galau melihat seseorang yang pernah singgah dihati sedang berteduh di suatu tempat dengan sesekali mengunggah instastories atas bahagia yang selalu dia pamerkan hinggga mampu menggugah hatiku untuk berkata "sampaikan salamku kepada seseorang di sebelahmu yang selalu kau banggakan". Tetapi karena malam ini adalah malam Natal. Dan Aku tak merasakan itu akan segera terjadi di sini, di rantau orang. Mungkin karena Aku sudah merindukan "mereka", tempat di mana Aku akan pulang. Hatiku masih beku dan lidahku rasanya kelu untuk berbicara sekata pun tanpa menghiraukan waktu yang terus mengingatkanku bahwa malam ini adalah malam Natal. Tapi hatiku tetap saja memberontak ingin berjumpa dengan mereka.
Di sini, di rantauan ini aku teringat akan rumahku, Kurindu halaman depan rumah dikala senja, candatawa yang memecahkan suasana keheningan, sapaan mesra dari dedaunan jati yang gugur dan akan menumbuhkan tunas baru sebagai harapan baru. Ah lagi-lagi Aku rindu ingin kembali....
Kembali dengan kesuksesan yang dianyam di tanah orang, karena teriakan kecil sudah tak sabar lagi memanggilku untuk segera kembali pada tanah kelahiranku, Sumba.
Selalu terbayang malam Natal yang indah dengan bintang-bintang ramah berkelap-kelip menemani malam Natal. Dan di telingaku selalu berdentang lonceng Gereja yang bertalu-talu silih berganti dari semua penjuru. Namun disini suasana syahdu itu tak ku dapatkan, baru beberapa bulan saja di rantau, Aku sudah merindukan suasana Natal di kampung halamanku di Sumba. Ya, Sumba......
Rinduku pada Sumba bukanlah rindu pada padang-padang terbuka, di mana matahari membusur api di atas sana..., seperti kata Taufik Ismail dalam puisinya yang berjudul "beri daku sumba". Tapi rinduku pada Sumba adalah rindu tentang "mereka", tentang suasana Natal yang syahdu dimana senyuman kebersamaan dalam keluarga yang dirangkai tulus dari hati yang penuh cinta.
Hari Raya Natal pun tiba.....
Tampak sukacita tergambar di wajah-wajah mereka yang kutemui. Dan Kurasa hanya aku yang murung dalam sukacita Natal ini. "Mungkinkah karena tanpa mereka?" Ya. Tak seharusnya Aku bertanya demikian. Karena kenyataannya benar bahwa Natal yang kurayakan hari ini tanpa mereka. Ada rindu yang tak dapat kutahan. Ada rindu yang tak dapat kubendung. Dalam hati kutekadkan untuk mencari makna sesungguhnya dari hari Natal ini. Aku tak ingin Natal tahun ini ku nodai dengan perbuatanku yang tidak layak disebut sebagai orang Kristen hanya karena Aku rindu ingin pulang, Aku tidak dapat memberikan ruang dan tempat bagi Tuhan untuk bekerja dalam hatiku.
Hari pun berlalu begitu cepat saat misa Natal usai. Semuanya kembali dengan membawa sukacita yang baru. Bersalam-salaman dalam damai dan sukacita yang indah. Semuanya tertawa, tersenyum saling memberikan ucapan syukur dan selamat Natal bersama keluarga. Karena Natal adalah kisah kasih Tuhan yang terindah melalui sepasang manusia, yakni Yusuf dan Maria dalam keharmonisan sebuah keluarga sederhana. Ketika melihat keharmonisan keluarga yang terpancarkan oleh mereka yang kutemui, hatiku pun menjadi tak karuan. Terbayang olehku wajah kedua orang tuaku, wajah saudara-saudaraku, wajah keluarga dan sahabat-sahabatku. Ah, Aku jadi rindu.
Natalku tahun ini adalah yang pertama tanpa kehadiran kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku. Aku mendapatkan rasa sepi itu. Rasa sepi namun penuh dengan sukacita pengharapan. Aku hanya bisa berharap tahun depan aku akan pulang untuk merayakan natal bersama mereka. Karena ada rindu yang harus terobati. Aku rindu mereka. Aku rindu rumahku. Aku rindu kampung halamanku. Aku rindu cinta kasih yang ada dalam keluarga kecilku.
"Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberikan keluarga yang begitu mencintaiku. Mungkin senyuman mereka tak lagi menyapaku di Hari Natal ini, hari yang pastinya menjadi hari yang sepesial. Namun, kebersamaan kita tidak mungkin akan terkikis walau waktu akan membatasi. Karena ini hanya sementara. Hanya 4 tahun kok. Tak perlu cemaskan Aku, mama papa".
Dipenghujung hari, ingin kuriakan rasaku kepada senja tentang rindu yang tak dapat kubendung. Dan kusampaikan salam hangat “ Selamat Natal Mama, selamat Natal Papa, tahun ini aku tidak pulang.” Karena Aku tahu, mulai tahun ini, maka Natal akan berbeda. Natal tanpamu, mama papa.
Kepada angin kutitipkan setumpuk rindu yang masih menanti jawab untukmu ayah dan ibu tercinta.
Bali, 22 Desember 2017
Comments
Post a Comment