UMKM (Usaha Menengah Kepada yang Menengah)


Barangkali, di antara kita sudah tahu, bahwa UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Namun, pernahkah kamu? Ketika melihat berbagai festival yang mengatasnamakan UMKM, yang hadir malah para pelaku usaha menengah ke atas. Festival-festival yang melibatkan tenun ikat Sumba, misalnya. 

Para pengrajin, yang adalah pengusaha mikro dan kecil, hampir tidak dilibatkan. Barangkali inilah alasannya dibalik para pengrajin tidak mendapatkan uang sebanyak penjual kedua-ketiga dan seterusnya. Lihat! Mereka yang tidak capek-capek menenun, adalah yang paling mendapatkan panenan yang melimpah. 

Lantas, apa yang salah dengan itu? Mengapa pengrajin tenun yang mulai dari nol, penghasilannya tidak sebanyak penjual kedua-ketiga? Mengapa harga kain Tenun Ikat Sumba mahal-mahal?

Menjawabi pertanyaan di atas, saya kira, kita bisa memulainya dengan price theory di mana para pelaku-pelaku ekonomi terkecil (konsumen, produsen, pemilik sumberdaya) dalam suatu perekonomian yang bebas harus mengambil keputusan yang tepat. Tentu saja dalam hal ini, para pelaku ekonomi terkecil tersebut membuat pilihan dan berinteraksi antar individu dalam memproduksi dan mengkonsumsi suatu produk, misalnya tenun ikat.

Seperti asal katanya, mikro, yang berarti kecil, tak terlihat, atau bagian kecil dari suatu hal yang terdefinisi. Maka, para pengrajin ini, yang susah payah dari awal hingga akhirnya menghasilkan satu tenun ikat, tidak akan terlihat. Itulah mengapa dalam pameran-pameran atau festival-festival yang melibatkan tenun ikat, para pengrajin akar rumput nyaris tidak dilibatkan. Selain karena mereka kecil dan tidak terlihat, juga karena tenun ikat yang mereka hasilkan betul-betul digunakan untuk menyambung hidup. 

Misalnya, mereka, para pengrajin itu membeli benang seharga A, terus benang ini digulung (kabukulu) oleh pemberi jasa kabukulu seharga B, dan seterusnya pada proses menuju tenun yang dilakukan sendiri. Nah, akumulasi dari biaya beli benang hingga ditenun itu, adalah harga jual kain tenun ikat yang sudah jadi. Jualnya ke mana? Ya, kepada para pengusaha (menengah) kain. Kepada mereka yang tidak terlibat langsung pada proses pembuatan kain dari awal hingga akhir. Kepada mereka yang membeli kain dengan harga murah, lalu menjualnya lagi dengan harga mahal. Kepada mereka yang kadang-kadang menawar kain sampai hampir kembali pokok. Kepada mereka yang menekan harga kain tenun ikat agar tetap murah. 

Selanjutnya, mereka, dengan segala sumberdaya yang mereka miliki, juga dengan segala bantuan dari bank A, B dan C, mengatasnamakan UMKM yang hanya M-nya saja, menjual kain tenun ikat dengan harga dua-tiga kali lipat dari harga awal. Ini dinamakan bisnis. Berbeda dengan para pengrajin akar rumput, mereka, seperti kata Adam Smith, adalah orang-orang yang mekanisme pencapaian tingkat kemakmurannya (dapat uang hasil penjualan kain tenun ikat) dapat tercapai tanpa adanya campur tangan pemerintah, di mana mekanisme pasar akan menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien.

Pada akhirnya, muara dari semuanya itu adalah regulasi. Sebab, yang membuat harga bahan baku pembuatan kain tenun ikat adalah para pembuat kebijakan. Yang membuat membuat orang-orang (pengusaha) menekan harga, adalah tidak adanya regulasi dari pembuat kebijakan. Yang membuat kerjasama antar UMKM, tapi sering melibatkan M-nya saja, adalah pembuat kebijakan. 

"Tapi tenang saja, terlepas dari itu semua, kita adalah orang Sumba yang bangga ketika tenun ikat Sumba dikenakan oleh para selebritis tanah air, meski mereka membelinya dari pengusaha yang harganya dua-tiga kali lipat daripada membelinya langsung pada penenun aslinya. Kita adalah orang Sumba yang bangga memberikan kain tenun ikat asli, yang menggunakan pewarna alami, kepada para pejabat karena kunjungan mereka. Kita adalah orang Sumba yang bangga ketika memberikan hadiah kain tenun terbaik yang ada di rumah kepada para politisi yang mengadakan reses. Kita adalah orang Sumba, ya, karena kita adalah orang Sumba. Orang bilang, nda Humba li la mohu a kama. Kami bukan Sumba yang punah. Namun, lihatlah! Bahkan kesumbaan kita telah lama hilang. Kita adalah Sumba yang hilang. Punah. Humba nama mohu. Kita adalah orang Sumba yang tidak mengakui itu."

Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)