Muru Katiu Kambu
![]() |
| Setelah diurut, selfie dulu😎 |
Malam kemarin, sekira pukul 22.13 WITA, saya sakit perut. Tiga kali bolak balik kamar kecil, rupanya masih belum cukup. Isi perut habis, tapi sakitnya tidak habis-habis. Setengah dua belas, saya sudah tidak sanggup menahannya. Mama yang tidur di ruang tengah, saya bangunkan.
"Mama, mama, tolong urut dulu. Saya punya perut sakit."
Mama terbangun. Tidak tahu harus berbuat apa. Bapa sementara di teras depan. Baru pulang dari rumah besar. Urusan adat.
"Sakit bagaimana?" tanya mama.
Bapa masuk ruang tengah, "itu toh, makan kalau dibilangin, makan. Angin masuk semua sudah di perut."
Saya tidak sanggup membalas. Badan saya lemas. Saya sudah tidak bertenaga. Saya melihat bawang merah di atas meja. Bawang itu saya ambil. Lalu saya oleskan di perut, berharap agar bisa sembuh, seperti yang pernah orang-orang lakukan saat sakit perut. Rupanya, itu tidak membantu.
Beberapa menit kemudian, kakak saya datang. Mereka dari rumah besar. Sama seperti bapak tadi, ini juga urusan adat. Kematian. Belum turun dari motor, mereka sudah disambut bapak. "Dia ada sakit perut."
"Siapa yang tahu urut di sini?" Tanya mama setelah kakak masuk. "Om x saja yang bisa, kalau obat (baca: muru)," pertanyaan itu dijawab sendiri."
"Sakit bagaimana?"
"Sakit batusuk?"
"Iya, sakit batusuk," saya menjawabnya sambil tertatih. Tidak bertenaga.
"Ayok kita pergi di bapa Nandes. Waktu lalu juga saya sakit begitu," ajak kakak saya.
Saya bersemangat, juga sedikit memaksa. "Ayok sudah." Sakit perut saya ini sudah tidak bisa saya tahan.
Dalam perjalanan, kira-kira jaraknya 2km menuju rumah kakak, saya hampir muntah. "Cepatan lagi dikit, saya mau muntah," pinta saya. Namun, jalanannya yang rusak, ditambah hujan kemarin, membuat kakak tidak punya pilihan lain selain menjalankan motornya pelan-pelan.
Tiba di rumah sawah, saya meminta untuk segera dibukakan pintu. Cepat-cepat saya bergegas ke kamar kecil. Setelah itu, saya terpaksa tidur di lantai. Sudah tidak kuat lagi. Beberapa menit kemudian, bapa Nandes datang untuk mengobati sakit perut saya.
Sambil menekan-nekan perut saya, sakitnya juga tidak bisa saya tahan. Ingin sekali saya meninju tembok di samping saya, saking tidak kuatnya menahan sakit perut. Namun, itu saya urungkan karena percobaan pertama tadi, membuat tangan saya sakit.
Setelah selesai mengobati perut saya dengan cara mengurutnya menggunakan minyak pahapa (air sirih pinang yang dikunyah), menempelinya dengan sepah sirih pinang, dan membacakan mantra (lebih ke kata-kata afirmatif), saya lalu berusaha untuk tidur. Usaha ini, adalah usaha paling keras yang saya lakukan, mengingat sakitnya perut saya masih saja terasa. Malah lebih lama dan panjang. Ah, sial.
Beberapa saat kemudian, saya muntah. "Bagus sudah, sampai ia memuntahkan yang biru pahit itu sebentar baru mendingan," kata bapa Nandes, yang diaminkan yang lainnya. Mendengar itu, saya berharap untuk cepat-cepat muntah. Sayangnya, muntah yang ini tidak bisa diatur. Seperti jodoh, ia datang dengan sendirinya. Sebelum pulang, ia berpesan, besok akan diurut lagi.
Malam semakin larut. Sakitnya perut saya makin menjadi. Ini membuat saya tidak bisa tidur. Bukan cuma saya, mama yang sedari tadi menemani saya pun tidak bisa tidur. Tiap kali saya merasa kesakitan, mama terbangun. Mama yang awalnya satu tempat tidur dengan saya, akhirnya memilih berpindah ke lantai, karena saya, ketika merasa kesakitan, menguasai tempat tidur untuk berputar-putar sambil memegang perut. Ini sebenarnya tidak membantu sama sekali, tapi dengan berputar, rasanya seperti dipermainkan. Ini lebih sakit dari mantan.
Jam 12 lewat. Jam 1 pun lewat. Jam 2, jam 3, semua waktu hampir dilalui dengan muntah yang bertubi-tubi. Gigitan nyamuk dan dingin, bahkan tidak ada apa-apanya, dibanding sakit perut ini. Sungguh, ini sakit yang paling tidak saya inginkan. Setelah ayam berkokok, saya tertidur dengan sendirinya. Saya tidak tidak lagi merasakan apa-apa. Bahkan untuk merasakan bunyi alarm pukul lima, yang selalu saya atur untuk Senin-Jumat, pun tidak. Rupanya saya telah sono.
Pagi-pagi sekali, sebelum pukul enam, saya mendengar suara mama menyiram sayuran. Setelah itu, ia bergegas masuk. "Sampai tidak bisa tidur," kata mama menjelaskan kepada kakak saya ketika ditanya keadaan saya. "Jam setengah empat baru agak mendingan. Sudah berhenti muntah."
Setelah itu, saya mendapatkan ceramah dari kakak. "Ada makan, makan. Itu efeknya kalau tidak makan. Angin masuk duluan." Saya menganggap wajar, kalau kakak saya bicara demikian. Sebab, Jumat kemarin, sebelum berangkat ke SD Katolik Palakahembi, saya meneguk segelas kopi. Tidak sarapan. Tidak pernah ada sarapan dalam kamus saya. Kecuali, saat-saat tertentu. Juga saat lauknya enak. Termasuk juga bila dipaksa makan.
Siangnya, saat dalam perjalanan pulang dari Palakahembi, saya bersama seorang teman, singgah minum kopi di keluarganya. Sorenya saat tiba di rumah, saya hanya makan mie instan satu mangkok. Cukup. Malamnya, saya dimarahi bapak akibat kesalahan saya, yang, ya, itu salah saya. Inikah yang memprakarsai saya membuat status di medsos saya dengan judul Kopi Rekonsiliasi, sore kemarin;
"Kami sepakat menyebutnya sebagai Kopi Rekonsiliasi, sebuah upaya untuk merajut kembali benang yang kusut, menambal yang rusak, memperbaiki yang salah dan mengobati yang lupa. Kopi ini terbuat dari upaya permintaan maaf, yang, tidak keluar dalam bentuk kata. Ia hanya sebatas kata, "mau kubuatkan kopi? dan sebuah jawaban, "iya." Selebihnya, kata-kata telah beristirahat. Mereka telah diredam dalam hangatnya secangkir kopi.
Kopi Rekonsiliasi, terbuat dari segala sesuatu yang terpendam, dalam hati, dalam diam, dalam kata-kata, dalam tindakan. Ia telah menjelma permintaan maaf yang paling tulus, dari hati. Bahkan bila kata itu setajam silet, seruncing tombak, tidak akan menembus darah yang telah terlanjur kental."
Maka, pada hari Sabtu, perut saya perlu diisi. Ia telah kosong setelah melewati 24 jam lebih tanpa nasi. Saya lalu memakan nasi yang sengaja disimpan mama khusus untuk saya di rice cooker. Pukul dua siang, saya lalu berangkat ke rumah teman di Padadita. Di sana, saya makan dua kali untuk menambal ruang-ruang kosong dalam perut saya yang perlu diisi. Dari rumah teman, saya pulang sudah hampir pukul sepuluh. Orang-orang di rumah sudah pada tidur, saat saya tiba. Dan, ya, saya pun langsung masuk kamar untuk tidur.
Keesokan harinya, seperti biasa, sebagai seorang tentara Kristus bagian intelejen, saya bangun telat. Orang-orang beriman akan memberi cap ini sebagai yang paling berdosa karena hari Minggu, kata orang-orang, adalah harinya Tuhan. Tuhan yang hanya punya hari di hari Minggu, barangkali membenci saya. Sebab, bila mengikuti maunya orang-orang, bahwa hari Minggu harinya Tuhan, maka dari Senin sampai Sabtu adalah harinya setan. Di sini, siapa yang akan menang, coba?
Siapa yang akan memberitahu, bahwa main sabung ayam di hari Minggu itu adalah dosa, versi mereka? Siapa yang akan diam saja ketika judi ayam itu ada di dekat hampir 5 buah gedung gereja? Siapa yang akan jadi pemuka agama, yang rajin ke gereja setiap hari Minggu, dan politisi yang adalah wakil rakyat aktif, yang ikut main judi sabung ayam di hari Minggu? Siapa yang hanya akan jadi penonton? Daripada pusing menjawab pertanyaan konyol itu, mending baca lanjut saja ini:
Saya sudah bangun saat alarm saya berbunyi pada pukul 05.00 di hari Senin. Lalu saya melanjutkan istirahat barang 30 menit, untuk kemudian pergi cas hp dan mandi. Sebelum berangkat kantor, tentu saja saya masih menikmati secangkir kopi buatan mama. Pukul delapan tepat, saya tiba di kantor. "Ada salak," kata seorang teman Staf. "Nanti dibagi-bagi." Berhubung saya tidak sarapan, saya langsung ambil tiga buah. Niat saya memang mau memakan semuanya. Namun, itu tidak jadi. Dua lainnya saya bagikan ke kedua teman saya, sementara yang satunya, saya makan sambil minum kopi. Ini kopi kedua di pagi ini, btw.
Siangnya, sambil menunggu listrik hidup, teman-teman Staf memetik buah jambu. "Ini obat sakit perut yang enak," kata saya, yang tidak didengar oleh teman lainnya. Kami semua lalu memakan jambu biji yang mahaenak itu dengan lahapnya. Semuanya dapat masing-masing satu. Begitu juga dengan saya.
Sore harinya, setelah pulang dari kantor, saya masih baik-baik saja. Dan, ya, saya memang baik-baik saja. Bahkan, saya masih sempat makan nasi, sebelum membuatkan secangkir kopi buat bapak pada pukul lima lewat tiga puluh enam menit. Saya mencatat jam ini, karena setelah jadi, kopinya saya foto bersama bapak untuk status medsos saya. Malamnya, saat hendak tidur, barulah saya merasakan gejala sakit perut. Pukul 22.13 WITA, saya ke kamar kecil. Di sinilah semuanya bermula.
*
Mama sedang menyiapkan sarapan, setelah saya terbangun dari tidur yang hanya sebentar itu. Lalu saya disuruh makan. Kali ini, tidak ada penolakan. Sebab, isi perut saya telah habis semua. Saya butuh makan untuk tetap hidup. Saya butuh makan untuk mengisi ruang kosong yang telah diambil muntahan saya hingga tetes terakhir. Setelah sarapan dengan bubur, saya dibuatkan kopi. Jelas, saya tidak menolak ini.
Lebih dari satu jam kemudian, saat matahari telah tinggi untuk ukuran anak sekolahan, saya diurut kedua kalinya. Sakit perut yang semalam, tidak lagi saya rasakan sejak saya tertidur setengah empat dini hari tadi. "Kalau tidak ketemu, tidak merah begini ini sirih pinang," kata bapa Nandes. Dan benar saja, dalam kehidupan bermasyarakat orang Sumba, khususnya Sumba Timur, sakit perut itu tidak melulu disebabkan oleh kesalahan makanan. Bisa jadi itu muru (obat). Muru Ular, Muru Wai, dua jenis ini yang pernah sering saya dapatkan dulu waktu masih SD. Ada juga Na'i, sakit perut yang diperoleh ketika membelakangi orang Sabu yang sedang berkeringat.
![]() |
| Diurut untuk kedua kalinya |
Sejak SMP hingga lulus kuliah, saya sudah move on dari Muru-muru itu. Namun, seperti kebanyakan mantannya yang bandel, ia kadang datang saat tidak dibutuhkan.
.
Ket;
1. 📷 diambil saat sudah bisa angkat hp ketika diurut. Sebelumnya, jangankan angkat HP, angkat badan sendiri saja menyiksa minta ampun.
2. Feel-nya beda ketika saya menerjemahkan bahasa Kambiara ke bahasa Indonesia, ketika menuliskan kalimat langsung dalam tulisan ini.
3. Sepertinya saya sudah sembuh dan hanya sedikit lemas karena tenaga saya telah terkuras habis.


Comments
Post a Comment