Katiku Watar
"Mai-wa ngangu wandanya,"² ajak mama. Ayok sudah makan.² Saya lalu bergegas bangun dari tempat tidur, menuju meja makan.
Sampai di meja makan, saya melihat ada makanan lain, selain udang dan kepiting sisa semalam.
"Nggarra ha nidha, mama?"³ tanya saya. Apa ini, mama?³
"Katiku Watar", jawab mama. Secara harafiah, Katiku Watar saya terjemahkan kepala jagung. Bila melihat bentuknya, ini malah bukan bukan jagung. "Ini didapatkan setelah ipping berlalu," kata mama lanjut menjelaskan. Ipping atau ikan nike yang berukuran lebih kecil dari ikan teri, antara 2-4 cm ini adalah nama yang digunakan untuk merujuk beberapa spesies ikan goby seperti awaous melanocephalus, sicyopterus parvei, sicyopterus cynocephalus, sicyopterus longifilis, sicyopterus lagocephalus, dan stiphodon semoni, demikian kata Wikipedia. Saya hanya tahu ini, karena sekarang ini ipping sedang naik-naiknya.
Sejak Senin hingga Kamis kemarin, ipping banyak ditemukan di jalan-jalan, karena dijual pelaut. Harganya, jangan ditanya lagi. Murah saja, kata orang-orang. 50ribu satu mangkok kecil. Kebetulan, kami dapat pemberian hingga sejak Senin hingga Kamis, kami makan menikmati ipping, yang hanya sedikit itu.
.
Nah, Jumat ini, tidak ada makanan di rumah. Ah, tidak. Maksud saya, di rumah ada nasi. Hanya nasi, sayur tidak ada. Mama menawari saya makan. "Makan nasi dengan kerupuk toh," kata mama dengan nada yang sedikit memaksa. Saya dan bapak pura-pura tidak mau. Ya, pura-pura. Kata pura-pura lebih cocok ditulis bila tidak ingin bilang, nasinya tidak enak dimakan kalau tanpa sayur.
Namun, karena lapar, sebungkus mie sedaap soto bisa habis dibagi tiga. Tentu saja kuahnya banyak, yang penting nasi bisa dihabiskan. Demikianlah Jumat malam ini kami tutup dengan sekenyang-kenyangnya perut terisi karbohidrat dan karbohidrat berbumbu.
Sabtu pagi, kami juga sarapan. Makannya tentu saja dengan mie (lagi). Maka, ketika malam, mama menawarkan makan lagi, saya menolak. "Sudah kenyang," katanya saya singkat, padat dan menimbulkan pertanyaan lanjutan. Kenyang atau kenyang? Ah, daripada disusul lagi, saya jawab saja, "bosan makan dengan mie terus, ma."
Barangkali, karena naluri keibuannya, mama takut kalau-kalau saya sakit perut hanya karena tidak makan. Pertama, mama menawari saya makan nasi dengan mie, biar bisa makan bersama bapakmu, katanya. Ya, saya dan bapak sepakat untuk tidak makan malam ini, seharusnya.
Mama tiba-tiba muncul dari halaman depan rumah dengan bawaannya. "Dari mana?" tanya bapak. "Dari beli telur biar rebus atau goreng supaya kita makan," balas mama, tapi ditentengannya ada piring. Sebelum kami bertanya, mama sudah menjelaskan lebih dulu. "Tadi, saya pergi beli telur. Terus saya singgah tanya di Tantemu, ada sayur? Maka saya dapatlah ini."
Malam Minggu kemarin kami dapat makan enak. Sayurnya ikan, udang dan kepiting, hasil tangkapan lautnya om. Lalu ada satu lagi yang disimpan mama untuk dimakan esoknya.
.
Merasa penasaran, saya bertanya lagi, iya, apa itu? "Katiku Watar," jawab mama. "Pa ngalangu la luku ha,"⁴ lanjutnya. Ini didapat di sungai.⁴ Saya masih saja belum puas dengan jawaban itu. Saya lalu memotretnya, untuk kemudian dicari di google lens. Mama yang melihat saya memotret makanan ini berkata, "jhaka dha luri latti ko itta-ha."⁵ Kalau saja ini masih hidup kau kan melihat bagaimana bentuknya.⁵
Dari hasil pencarian di Google Lens ini, saya malah menemukan gambar yang mirip. Namanya Pinjal. Pinjal adalah serangga yang termasuk ordo Siphonaptera. Ordo macam ini, saya juga tidak tahu, yang jelas, lebih lanjut saya baca bahwa Pinjal adalah serangga parasit yang umumnya ditemukan pada hewan dan manusia. Serangga jenis ini adalah menghisap darah dari inang yang ditumpanginya. Ngeri juga, ya. Massakah ini adalah Pinjal? Kan ini didapat di sungai, kata mama.
Saya lalu mencari dengan kata kunci, kutu air. Dan, kau tahu? Saya menemukan jenis yang mirip seperti yang sedang saya makan ini. Namanya Kutu Air Daphnia Magna. Wahhhh sepertinya saya sedang makan makanan ikan hias, nih. "Jhiamaha dha pa-nga ma amangu,"⁶ kata mama. Kami sudah biasa makan dulu.⁶ Kata-kata ini, setidaknya meyakinkan saya untuk mencoba mencicipi makanan yang tidak pernah saya rasakan ini.
Satu sendok berlalu. Dua sendok, aman. Tiga sendok? Sepertinya saya sudah bisa makan dengan nasi. Toh, rasanya sama seperti kepiting kecil yang ditumbuk halus.
Comments
Post a Comment