Mama dan Babi(-babi)nya



"Mati 1, pelihara lagi 1.000." Barangkali, inilah ungkapan mama, dan mungkin semua saja yang pelihara babi, lalu mati diserang virus ASF. Tetangga kami. Desa kami. Desa tetangga. Bahkan sampai di kabupaten. Bagaimana tidak? Mereka bahkan sudah sangat amat ikhlas melepaskan peliharaan mereka terkubur dengan luka. 


Beberapa hari lalu, babi peliharaan mama mati. Babi itu baru saja melahirkan. Babinya besar, anaknya banyak. Semuanya mati. Saya bahkan baru tahu hal ini tiga hari kemudian, setelah mama dengan bantuan kakaknya, menguburkan babi itu. Iya, induk babi itu, beserta anak-anaknya dikuburkan. 


Ini sudah kali ke sekian Mama kehilangan babi-babinya karena mati. Mama tidak menyerah. Sejak virus babi itu menyerang babi-babi di rumah beberapa kali, semuanya kami kuburkan. Lubangnya digali dalam-dalam, sampai tidak menghasilkan bau apa-apa. Bahkan, lalat tidak hinggap di lubang galian kuburan babi. 

.

Sebut saja di Sumba, khususnya Waingapu, orang-orang yang pelihara babi berharap agar babinya tidak terkena virus babi. Lalu, orang-orang yang memanfaatkan situasi ini, berharap agar mendapatkan harga babi yang murah. "Babi oleng," kata mereka menyebutkan babi yang terkena virus itu ketika diperjualbelikan. Ada juga yang bilang, "babi miring." 


Sambil berharap agar virusnya ditemukan, orang-orang juga menyebarkan virusnya dengan sangat amat sadar. Ada yang membuang secara sembarangan babinya ke jalanan kosong tanpa penghuni. Ada pula yang membelinya di pasar dalam bentuk daging, lalu dikonsumsi di rumah, kemudian tulang-tulangnya atau sisa-sisa makanan yang tidak dihabiskan, disimpan untuk diberi makan babi. Benar-benar cara sederhana untuk menghilangkan kehidupan pada babi peliharaan sendiri, yang, tentu saja dirawat dengan susah payah.


Sejak babi di rumah terkena virus ASF untuk yang pertama kali sampai yang 4 hari lalu, mama dibantu ataupun tidak dibantu, selalu menggali kuburan untuk babi yang sudah mati. Bagi mama, babi-babi peliharaannya layak mendapatkan penguburan, sehingga sekalipun babi besarnya sakit, tidak mau makan, mama tidak akan tega menyuruh orang untuk mematikan babi itu untuk kemudian dikonsumsi bersama. 


Bagi mama, mengkonsumsi babi yang sakit, hanya akan membuat babi lainnya sakit. Lalu mati. Saya tidak tahu ini datang dari mana, tapi saya sangat amat sepakat. Hal ini bisa dilihat dari tempat di mana tidak ada virus babi, lalu beli daging yang dijual di pasaran, dikonsumsi, babinya entah berapa lama kemudian, menjadi mati. Tidak masuk akal, memang, tapi itulah yang terjadi. Itulah yang dipercaya. Itulah yang diyakini. Kalau ditilik lebih jauh, barangkali keyakinan ini datang dari kata orang, bahwa virus ASF menyebar melalui kontak langsung antara hewan (babi) ataupun melalui perantara manusia yang kontak dengan hewan terjangkit. 


Konon katanya, virus babi juga menyebar melalui lalat. Lalat hinggap di babi sakit, lalu terbang ke babi sehat, maka sakitlah babi sehat itu. Mama percaya akan hal itu. Tidak ada cara lain. Saya juga belum menemukan artikel yang mengatakan, bahwa virus babi ini sudah ditemukan obatnya. Karena itu, langkah pencegahan yang dilakukan mama selain memindahkan jarak babi yang sakit dan sehat, adalah dengan mengolesi solar pada babi-babinya. 


Babi induk besar beserta anak-anaknya sudah mati. Di tempat yang sama, dengan jarak sekitar satu atau dua meter, ada babi lainnya. Mama sudah melakukan segala cara untuk mengobati babinya, seperti yang disarankan orang-orang. Babi sedang sudah menunjukkan tanda-tanda tidak mau makan lagi. Mama kehabisan cara, tapi mama tidak menyerah, seperti menyerahnya pemuka agama yang menggusur rumah warga di kabupaten tetangga. 


Mama mencari solar, bahan bakar fosil yang berasal dari minyak bumi yang digunakan untuk mesin diesel, untuk dioleskan pada tubuh babinya. Sudah terlambat memang, untuk babi sedang yang menunjukkan tanda-tanda tidak mau makan. Namun, masih ada babi satunya, di tempat yang sama, yang masih sehat hingga sekarang. 


Sudah 10 hari sejak babi induk dan anak-anaknya yang baru dilahirkan mati. Sudah 10 hari mama kehilangan babi kesayangannya untuk ke sekian kalinya. Sudah 10 hari pula babi ini dijaga, dirawat, diolesi solar, agar lalat tidak menghinggapinya. Sudah 10 hari babi ini masih sehat dan semoga masih akan tetap sehat. 


Semoga babi yang hampir dipastikan adalah satu-satunya ini, bisa bertahan selama mungkin, sampai ia mati karena kehabisan umur. Semoga semangat mama masih akan terus terpelihara, seperti yang sudah ditunjukkan. 


Semoga babi-babi di Sumba sehat-sehat. Semoga para pembuang babi secara sembarangan dan para penjual babi oleng untuk dikonsumsi, bisa lebih peka agar tidak menjadi wadah yang turut menyebarkan virus babi. Semoga yang masih ngeyel, ditindak tegas. 

.

.

Sumba, 30 Januari 2025

Comments

Popular posts from this blog

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)

Membaca BELIS sebagai Suatu Kemarahan