Mencintai dan Membebaskan; Refleksi Cinta di Hari Valentine

Saat menyelesaikan tulisan ini 5 hari yang lalu, saya belum tahu bahwa umur Erich Fromm lebih tua 5 tahun dari Jean Paul Sartre. Karena itu, yang awalnya tulisan ini berjudul "Dari Om Erich Fromm Hingga Opa Jean Paul Sartre, Hanya Mau Bilang Selamat Valentine" saya ganti seperti yang terbaca saat ini. 

"Makanya sebelum taruh orang pung nama dan pilih judul, riset dulu!" begitu kata-kata yang saya terima dari seseorang. Tentu, dari kata-kata itu, apa yang saya butuhkan telah ia berikan. 

Tulisan ini berangkat dari sebuah ajakan pada awal Februari lalu, ketika melihat quote Nietzshce yang mengatakan cinta adalah strategi licik menjerat kebebasan orang lain. Merasa bahwa ada yang salah dalam diri saya ketika sudah m̶a̶s̶u̶k̶ ̶u̶n̶t̶u̶k̶ menjerat kebebasan orang lain, saya lantas mengiyakan saja ajakan untuk menulis edisi valentine ini. 

Dan, well....
Lupakan intermezzo tanpa emosi itu. Bila tak sepakat, kita sepaket saja.

Banyak yang beranggapan bahwa perkara cinta, yang terpenting adalah dicintai, bukan mencintai. Anggapan seperti ini lantas melupakan bagaimana harusnya mereka mencintai sebagai hubungan timbal balik dari dicintai. Akibatnya, kita mungkin akan sibuk memikirkan bagaimana kelayakan kita untuk dicintai. 

Dengan konsep "mencintai" yang demikian, maka kita akhirnya lebih memilih berpenampilan menarik, memoles diri secantik atau seganteng mungkin hanya agar merasa pantas untuk dicintai. Konsep mencintai yang demikian, saya kira sangat wajar. Sebab, dalam Seni Mencintai, Erich Fromm menggambarkan bahwa manusia sejak kecil sudah terbiasa dicintai; oleh ibu. 

Di lain sisi, Erich Fromm, seorang ahli psikoanalisis berkata, cinta yang sehat itu tidak berusaha menguasai dan merubah apapun dalam diri kamu. Menurutnya, cinta adalah manifestasi kehidupan itu sendiri. Sebab, cinta adalah sebuah proses menyatukan kembali diri dengan manusia dan alam setelah mengalami keterpisahan. 

Keterpisahan di sini banyak, entah dari orang tua, dari alam akibat proses perubahan pola penghidupan dan lain sebagainya. Erich Fromm menyatakan bahwa dalam mengamalkan cinta atau mencintai harus dimaknai seperti melakukan sebuah seni. Sebagai suatu seni "Dia yang tidak tahu apapun, tak mengerti apapun…. Siapapun yang membayangkan semua buah matang di saat yang sama sperti stroberi berarti tidak tahu apa-apa tentang anggur," Paracelcus.

Mungkin karena itulah bukunya yang berjudul 'Seni Mencintai' hadir. Buku Seni Mencintai itu kurang lebih berisi tentang kritikan atas teori-teori Freud tentang cinta yang hanya dibatasi pada persoalan seks semata, Erich Fromm menjabarkan banyak konsep cinta, mulai dari cinta orang tua, cinta kepada lawan jenis hingga cinta terhadap Tuhan.

Lalu, untuk apa kita memoles diri dengan cinta yang tidak berusaha merubah apapun dalam diri itu? Selain karena cinta adalah manifestasi kehidupan itu sendiri, lagi-lagi kata Erich Fromm, cinta adalah tindakan keyakinan; dan siapa pun yang kecil keyakinannya, kecil juga cintanya.

Dalam banyak kasus, banyak yang meyakini bahwa 'seolah-olah' cinta hanya persoalan dicintai bukan mencintai. Karena itulah Erich Fromm menggambarkan perilaku dicintai model ini hanyalah gabungan sikap popularitas dan sex appeal. Artinya, jika kita hanya berharap untuk dicintai, tanpa tindakan aktif untuk mewujudkannya, secara tidak langsung kita telah menunjukkan sikap ketidakberdayaan, pasif, dan ego.

Namun, Erich Fromm sendiri mempelajari cinta sebagai suatu seni. Karena itu, memahami cinta sangatlah diperlukan agar bisa merawatnya dengan baik. Lagi, menurut Erich Fromm, cinta adalah jawaban atas masalah eksistensi manusia. Masalah eksistensi apa? Satu-satunya masalah, ya masalah keterpisahan. Keterpisahan adalah masalah eksistensi manusia. Sebab, keterpisahan membuat manusia menyadari kehadirannya kosong, hampa.

"Teori apapun tentang cinta harus dimulai dengan teori tentang manusia, eksistensi manusia. Manusia dianugerahi dengan rasio; ia adalah makhluk yang sadar dirinya; ia mempunyai kesadaran tentang sesama, masa lalu, dan kemungkinan masa manusia. Kesadaran akan diri sebagai entitas yang terpisah, kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek, akan fakta bahwa ia lahir dan mati bukan karena kehendaknya, bahwa ia akan mati sebelum mereka yang ia cintai, atau mereka mati lebih dulu sebelum dirinya, kesadaran akan kesendirian dan keterpisahannya, akan ketidak berdayaannya terhadap kehidupan alam dan masyarakat, semua ini membuat eksistensi dirinya terpisah dan terpecah menjadi penjara yang tak tertahankan. Ia akan mengalami gangguan kejiwaan jika tidak dapat membebaskan diri dari penjara itu dan keluar...,"

Sampai pada pemahaman ini, saya kemudian mencoba meminjam teori eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre, seorang filsuf kontemporer dan penulis Prancis yang pernah bersabda bahwa, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi. Maka, saya pun terpaksa harus mengamin-kan pendapatnya bahwa jatuh cinta adalah tanda kegagalan seseorang mempertahankan dirinya sebagai subjek. Mengapa? Karena orang yang saling mencintai memiliki motif ingin menguasai dunia pasangannya.

“existence precedes essence."

Pada titik ini, Sartre menunjukkan bahwa cinta secara implisit adalah ketika masing-masing individu yang saling mencintai hanya dilihat sebagai objek yang bertubuh. Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara pasrah. Maka, jelaslah bahwa teori eksis(tensialisme) yang dikemukakan oleh Sartre mengharuskan kita untuk eksis terlebih dahulu sebagai manusia bebas, barulah kita bisa punya esensi. 

Akibatnya, kita malah terjerumus hingga terjebak pada dunia yang bukan milik kita. Dunia lain. Dunia yang kita paksakan demi mewujudkan eksistensi kita terhadap cinta yang kita miliki. Dalam ranah filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang mencintai pada hakekatnya adalah orang yang memiliki dunia orang yang dicintai, lalu menjadikannya objek, hingga ia rela menyerahkan dunianya secara utuh kepada orang lain.

Lantas, bagaimana keterkaitan antara Erich Fromm dan Jean Paul Sartre dalam memakai cinta?

Menurut hemat saya, yang mengaminkan pendapat Erich Fromm, bahwa cinta yang sehat itu tidak berusaha menguasai dan merubah apapun dalam diri kamu, keduanya sama-sama menginginkan cinta yang bebas. Sebab, Jean Paul Sartre menurut saya, juga membenci untuk memenjara cinta. Meski secara pemahaman saya menilai bahwa seseorang yang berharap dirinya terus dicintai atau sebaliknya, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan. 

Di sini jelas bahwa orang yang saling mencintai, memiliki keinginan (yang tidak ingin) untuk memenjara pasangannya dengan dalih cinta. 

"Atas nama cinta, aku cemburu. Maka, kau tak harus melakukan ini dan itu agar aku tak cemburu," demikian contoh penjara cinta hehe

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sudahkah kita mencintai dengan sungguh tanpa harus memberikan penjara bagi pasangan kita? Penjara yang saya maksud di sini bukan seperti jeruji yang membatasi jiwamu untuk ke mana-mana, melainkan penjara kebebasan yangmana kebebasan pasanganmu untuk berekspresi kau junjung tinggi. Misalnya saja kebebasan ia untuk bermedia sosial tanpa perlu kamu tahu apa passwordnya atau kebebasan ia untuk ingin memegang hpnya sebagai barang miliknya. 

Dalam kasus ini, banyak saya temukan pada teman-teman saya yang kebebasannya telah direnggut oleh seseorang yang katanya paling dicintainya itu. Padahal, kata Erich Fromm, cinta adalah tindakan keyakinan. Di sini mungkin keyakinannya (kepercayaan) akan pasangannya sayang kecil, maka ia menganggap cintanya juga kecil. Karena itu, ia bersikeras untuk melindunginya dengan cara memenjara hatinya. 

Erich Fromm bilang, cinta yang sehat itu tidak berusaha menguasai. Namun, penyangkalan itu datang juga datang Fromm, bahwa cinta adalah jawaban atas masalah eksistensi manusia. Saya kira, timbulnya keraguan atas pasangan kita sehingga kita berkeinginan untuk menjerat kebebasannya disebabkan oleh eksistensi kita atau kehadiran kita baginya yang dinilai masih kurang. 

Lalu bagaimana agar kehadiran kita mampu memberikan arti baginya?
Perbanyak cintamu, perkuat eksistensimu. Jangan sampai memberikan penjara baginya. Akhir kata, saya tutup dengan nasihat Friedrich Nietzsche; cinta adalah strategi licik menjerat kebebasan orang lain. 

Eh, tapi.... tentu saja tulisan ini tidak berakhir sampai di sini. Sebab, saya belum mengucapkan selamat Valentine.

Selamat Valentine untuk yang jauh di mata dekat di hati, untuk yang setia dengan jarak, untuk yang bertahan dalam ketenangan, untuk yang merayakannya dalam dekap, untuk yang masih mencari dan untuk pemilik cinta: Manusia.













Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)