Sebuah Pengakuan; Menunggu Bukan Dosa



Pujian itu masih kupelihara. Ia masih ada, tersimpan bersama kekaguman yang nyata - seperti saat sedia kala, ketika hati menginginkan kehadiranmu. "Aku akan menua bersamamu," itu adalah janjiku, bukan hanya kuberikan padamu, tapi juga kepada usaha, niat yang kutanam dan terlebih pada hatiku. 

Sejauh ini, aku telah berada di sini, di tempat paling dalam, tempat di mana hatiku kau kubur. Di tempat ini, egoku tak ada lagi. Ia telah mati, seiring bertumbuhnya rasa ini untukmu. Kuharap, ini akan bertahan selama yang kamu inginkan, sebab aku akan mempertahankannya, meski kelak kau kan mengusirku. 

Pilihanku, bukan semata karena aku yang meminta, tapi juga turut serta dibumbui oleh doa dan keinginanmu. Maka, bersamamu, bukan semata untuk keindahan itu sendiri, tetapi juga bersama suka duka, yang kita carikan solusinya bersama. 

Bukankah, bersama dengan orang yang paling kau sayangi adalah salah satu keindahan semesta yang tak bisa kau dustai? Dan itu membantu menyadarkan kita untuk melihat dari sisi lainnya. Kau melihat dan menilaiku, begitu juga dengan aku, melihat, menilai, lalu memutuskan untuk terus bertahan mencintaimu.

Ini lucu, bukan? Mencintaimu saja membutuhkan psikolog, agar bisa meredam kegilaanku. Namun, orang-orang yang pernah merasa hal yang sama, tak menganggap aku gila. Mereka, orang-orang yang pernah jatuh cinta sedalam pikiranmu menuju hatimu, berkata, "kau perlu menonton serial komedi agar bisa menertawai dirimu sendiri." Kemudian, aku membuka serial paling konyol tanpa suara, namun mampu membuatku terpingkal-pingkal: Charles Chaplin.

"Jadi, jangan sampai menyesal dan salah dalam memilih pasangan hidup," kemudian katamu suatu ketika, menyimpulkan pembicaraan kita. "Sebab bagaimanapun juga, pasangan hidup kelak akan menjadi orang paling dekat, setelah sahabat, setelah kawan, bahkan setelah orang tuamu sendiri, ibumu sendiri."

"Nona, pilih pacar atau teman?" masih ingat, kan? Pertanyaanku di hari itu, setelah hampir 6 bulan kau merayakan ulangtahunmu yang ke 26. Tanpa ragu, kau menjawabnya dengan sungguh, "pacar, tuan." Pertanyaannya kemudian menjadi kompleks, segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Sampai tiba pada pertanyaan, "setelah ini, bagaimana?"
.
Kadang, bukan rupa yang membuat seseorang jatuh cinta. Orang-orang bisa jatuh cinta tanpa sebab. Sebab, begitupun denganku, "aku mencintaimu tanpa sebab." Sebab, penyebabnya sudah bukan lagi menjadi alasan. Kita bisa saling mencintai. Kau bisa menganggapku sahabat terbaikmu, yang bisa menghibur sedihmu, merawat tawamu, juga menyelesaikan masalahmu jika kamu izinkan. 

Ini bukan sekadar basa-basi hanya untuk mencari keindahan. Ini nyata, ada dalam diriku. Sebab, aku yakin, tanpa membeli lukisan, atau naik gunung seperti Fiersa Besari, mencari komunitas, dan lain sebagainya sampai mencari hobi baru, keindahan itu sudah kutemukan dalam dirimu. 

"Bagaimana?" tanyamu lagi, sedikit memaksa, agar aku bisa dengan pasti kau pilih sebagai kekasihmu.

"Bagaimana apanya, nona?"

Begini....

Setelah ini, kau mau jadikan aku apa? Apa yang paling kau inginkan dariku? Hanya sekadar pacar yang bisa menemani setiap malammu yang suntuk dan sepi sambil seruput kopi? Atau menjadi teman ceritamu tentang apa saja yang bisa kau protesi, kritisi dan salahkan? 

Aku ingin lebih. Aku ingin, setelah ini, kau bisa merencanakan masa depan yang lebih baik lagi. Setidaknya, anak-anakmu kelak juga butuh ayah yang bisa menjamin masa depan mereka. Dan aku, butuh suami yang bisa setia dan memahamiku. Aku ingin kamu memilihku, karena kamu memang inginkan aku. Mengerti prinsip yang telah tertanam dalam diriku, dan yang terpenting, punya komitmen dan tanggung jawab yang sungguh.

"Hubungi aku, jika nona bersedia." 

"Baik, tuan."

Itu jawaban singkat yang kudapat, dengan penantiannya yang begitu panjang. Sepanjang penantianku mengharapkan panggilan telepon darimu, dengan kata-kata manis yang tak berujung, "aku bersedia, tuan."

Namun, hidup tetaplah sebuah pertaruhan. Orang-orang memilih bertaruh pada apa yang mereka yakini kan dapatkan. "Maka, tak perlu sampai membuat keputusan yang membuat diri sendiri menyesal. Sebab membangun keluarga bukanlah permainan. Dari seluruh warna hidup, kita harus bisa memposisikan diri, sesekali untuk serius, sesekali untuk candaan," begitu katamu. 

Mungkin ini akan menjadi penantian panjang, sepanjang aku menunggu jawaban yang kau janjikan kala itu. 

"Hubungi aku, jika nona bersedia." 

"Baik, tuan."

Sekali lagi, percakapan kita membuatku yakin, bahwa menunggu bukanlah sebuah kesalahan. Bukan pula dosa besar yang harus diakui di hadapan pastor dua kali dalam setahun. 





Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)