Bagaimana Politisi Menipu Masyarakat hanya Bermodalkan Kesenangan?

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Yunani kuno, ialah Perikles, seorang negarawan, orator, dan jenderal Athena yang hidup pada abad ke-5 SM, sebuah masa di mana Athena berada pada zaman keemasannya. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang memiliki hubungan dengan keluarga Alkmaionid, yang terlibat dalam reformasi politik di Athena. Ibunya, Agariste, bermimpi melahirkan seekor singa sebelum Perikles lahir, yang mungkin merupakan pertanda kebesaran atau keanehan bentuk kepalanya.

Perikles dikenal sebagai orator yang ulung, yang mampu membujuk dan menggerakkan massa dengan kata-katanya. Lebih dari itu, ia bahkan memajukan demokrasi, seni, dan budaya Athena, serta memulai proyek pembangunan yang menghasilkan banyak monumen terkenal, seperti Parthenon di Akropolis. 

Parthenon di Akropolis yang menjadi simbol kejayaan budaya dan peradaban Yunani kuno itu, rupanya adalah hasil dari memanfaatkan kekayaan dan kekuasaan kota. Perikles juga mengadakan festival-festival agama dan seni yang meriah, seperti Panathenaia dan Dionysia, yang menampilkan pertunjukan drama, musik, puisi, dan olahraga. Dengan cara ini, Perikles berhasil memenangkan hati dan pikiran rakyat Athena, yang menganggapnya sebagai pemimpin yang bijaksana, visioner, dan berwibawa. 

Padahal, di balik semua itu, Perikles juga memiliki agenda politik yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan umum, seperti memperluas pengaruh dan dominasi Athena atas kota-kota lain di Yunani, yang akhirnya memicu Perang Peloponnesos, sebuah konflik berdarah yang melemahkan dan mengakhiri masa keemasan Yunani kuno.

Di masa modern seperti sekarang ini, orang-orang seperti Perikles banyak ditemukan pada politisi. Mengapa? karena Perikles juga adalah seorang politisi, yang, suka menghalalkan segala cara agar dapat bertahan atau bahkan hidup kekuasaan. Apalagi, masyarakatnya sangat-sangat butuh hiburan, kan? Eh. Dengan cara itu, politisi akan dengan mudah menipu masyarakat hanya bermodalkan kesenangan.

Politisi menipu masyarakat hanya bermodalkan kesenangan adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika politisi menggunakan strategi dramaturgi untuk menciptakan citra positif di mata publik, padahal tujuan sebenarnya adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok. Mendulang suara misalnya, eh. Iya sajalah. 

Dramaturgi adalah konsep yang dikemukakan oleh sosiolog Erving Goffman, yang menyatakan bahwa manusia hidup dalam dua panggung, yaitu panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah tempat di mana manusia berperan sesuai dengan harapan dan tuntutan sosial, sedangkan panggung belakang adalah tempat di mana manusia menunjukkan diri yang sebenarnya tanpa ada penonton.

Sudah mirip sepenggal lirik lagu ciptaan Taufiq Ismail dan Ian Antono (God Bless), bukan?

"Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura"

Politisi yang menipu masyarakat dengan dramaturgi biasanya melakukan hal-hal berikut:
1. Membuat janji-janji manis yang tidak realistis atau tidak konsisten dengan program dan visi-misi yang ditawarkan.
2. Membagikan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran atau bermotif politis, misalnya dengan memilih penerima bansos berdasarkan loyalitas politik atau elektoral, bukan berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat. Ada juga yang tutup buku akhir tahun (baca: kasih habis anggaran)
3. Melakukan pencitraan dengan berbagai cara, misalnya dengan blusukan ke daerah tertentu, mengenakan pakaian atau atribut yang sesuai dengan identitas kelompok tertentu, atau berperilaku lucu dan menggemaskan di media sosial. Khusus yang ini gemoy banget, sih hehe wkwkwk 
4. Menyembunyikan atau menutup-nutupi hal-hal negatif yang berkaitan dengan diri atau kelompoknya, misalnya dengan menghindari pertanyaan kritis, membantah tuduhan korupsi, atau menghapus jejak digital yang tidak menguntungkan.
5. Membuat lomba ini itu, konser ini itu, semata agar masyarakat melihat bahwa ada hal nyata yang dibuat olehnya, padahal, tidak dibutuhkan amat. Eh, yang butuh hiburan, buaaaaaanyak.

Khusus nomor 5, barangkali ada kaitannya dengan pepatah, "banyak anak, banyak rejeki." Dulu, masyarakat yang tidak mendapatkan hiburan seperti layaknya orang-orang kota, menjadikan satu-satunya hiburannya adalah bikin anak sebanyak-banyaknya. Capek pulang kerja, hiburannya, ya, itu. Itu sudah. Jangan tanya bagaimana caranya, pokoknya itu sudah. Zaman berkembang sedemikian pesatnya. Orang-orang menjadi tahu banyak hal, termasuk hiburan. Ada lomba/pertanding, konser dan lain sebagainya. Semuanya dimaksudkan untuk menghibur masyarakat. Di sinilah politisi yang "pintar", masuk untuk meraih suara masyarakat. Hanya bermodalkan hiburan. 

Sebenarnya, kita juga tahu bahwa politisi yang menipu masyarakat dengan hiburan sering kali mengabaikan atau mengeksploitasi keadaan masyarakat yang miskin, terpinggirkan, atau tertekan. Mereka hanya memberikan hiburan yang bersifat sementara dan permukaan, tanpa memberikan solusi yang nyata dan berkelanjutan untuk memperbaiki kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. 

Mereka juga memanfaatkan kecenderungan masyarakat untuk mencari pelarian dari kenyataan yang pahit dengan menawarkan kesenangan yang menjanjikan kebahagiaan dan kepuasan, tetapi sebenarnya hanya menguntungkan politisi itu sendiri. Misalnya, dengan mengadakan lomba atau konser, politisi dapat menarik perhatian dan simpati masyarakat, sekaligus mengumpulkan suara dari mereka, tanpa harus capek-capek bikin serangan fajar. Eh, tapi kedua dana itu sama saja, sih. Sama-sama keluar banyak, yang, kalau lolos ketika terpilih, akan masuk banyak juga. Teorinya, kan, seperti itu. Ya, kan?

Eh, tapi, ada lho, teori beneran yang menjelaskan mengapa politisi bisa menipu (baca; menggaet suara) masyarakat hanya bermodalkan hiburan?

Teori yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan ini adalah teori konstruksi sosial, yang menyatakan bahwa realitas sosial adalah hasil dari proses interaksi dan negosiasi antara individu atau kelompok yang memiliki kepentingan dan kekuasaan tertentu. Dalam konteks ini, politisi ber-dramaturgi adalah aktor sosial yang berusaha mengkonstruksi realitas sesuai dengan kepentingan dan kekuasaannya, dengan menggunakan berbagai simbol, bahasa, dan media untuk mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat. Apalagi kalau politisinya banyak uang. Masyarakat yang menjadi sasaran politisi ini adalah mereka yang kurang memiliki akses dan literasi informasi, serta rentan terhadap pengaruh emosional dan sosial. Kiw kiw cukurukuk.

Nah, Machiavelli menjelaskan ini sebagai the end justifies the means. Bahasa Kambera-nya kami orang Sumba Timur begitu sih, yang artinya tujuan menghalalkan segala cara. Machiavelli bilang, "seorang penguasa tidak perlu peduli dengan moral atau etika. Politik adalah seni bermain kotor, bukan bermain baik-baik." Bermain dana hehe.

Kalimat tersebut, yang saya cari di google, aslinya seperti ini, "the end justifies the means (tujuan menghalalkan segala cara). Seorang penguasa tidak wajib membahas apakah tindakannya secara moral benar atau etis. Tidak terdapat kejahatan dalam politik, hanya kesalahan kecil," berasal dari buku The Prince, yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli, seorang filsuf dan politikus Italia pada abad ke-16. Buku ini berisi nasihat-nasihat tentang bagaimana seorang penguasa harus berperilaku untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Machiavelli berpendapat bahwa penguasa harus bersikap pragmatis dan realistis, serta tidak terikat oleh norma-norma moral atau agama. Ia juga menekankan pentingnya kekuatan militer, kelicikan, dan ketegasan dalam menghadapi lawan-lawan politik.

Oh, iya. Hampir saja saya lupa. Perikles yang asyik itu tadi, meninggal karena wabah yang melanda Athena pada tahun 429 SM, yang juga menewaskan banyak warga dan tentara Athena. Wabah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan Athena dalam Perang Peloponnesos. Sebelum meninggal, Perikles dikabarkan mengucapkan kata-kata terakhirnya, yang menyatakan bahwa ia tidak pernah menyakiti siapa pun. 

Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)