Ngaku-ngaku Konten Kreator
"Saya ingin melawan arus, karena cuman ikan mati yang berenang mengikuti arus."
~ Rocky Gerung
Saya membuka tulisan ini dengan quotesnya bung Rocky, tanpa mengikutsertakan konteksnya. Sebab, sebenarnya, judul awal tulisan ini adalah "Meredefinisi Kata Konten (Kreator)," yang sepertinya tidak jadi dilanjutkan karena keterbatasan bahan bacaan. Namun, cukuplah kita tahu, bahwa kata "konten" berasal dari bahasa Inggris, yaitu "content" yang berarti isi atau kandungan. Kalau ditambah kreator, maka itu akan menjadi sebutan bagi orang-orang yang membuat konten, seperti tulisan, gambar, video, suara, atau gabungan dari beberapa materi untuk dipublikasikan di platform digital.
Sudah. Begitu saja dulu. Kalau kau melihat orang, lebih-lebih di Facebook, yang tiap postingan mereka ada kata-kata @sorotan semuaorang, fyp dan lain sebagainya, maka mereka ini adalah konten kreator Facebook (pro). Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa setiap konten yang ada, beragam jenisnya. Mulai dari yang asyik, sampai yang ahshit, semuanya ada. Tergantung kita memilih yang mana untuk dinikmati. Bila mengikuti kata orang-orang yang kehabisan akal, ya, "kalau tidak suka diskip saja atau diblokir."
Pada akhirnya, kita memang harus bisa menerima orang-orang di sekitar kita yang kini menjadi konten kreator, walaupun konten yang dihasilkan tidak bisa diterima dengan waras, sebab begitulah adanya. Begitulah "isi" atau "kandungan" yang mampu dihasilkan. Meski begitu, hasilnya adalah uang. Orang-orang akan melakukan apa saja untuk menghasilkan uang, selama itu tidak merusak orang lain secara langsung. Itulah sebabnya ada kalimat "don't make stupid people famous," milik Deddy Corbuzier, yang dulu kita aminkan bersama, dan, sekarang kita beramai-ramai membuat itu menjadi kenyataan.
Oh, iya, berkaitan dengan ini, ada satu istilah menarik yang saya baca baru-baru ini: Brain Rot, yang berdasarkan definisi Oxford, diartikan sebagai dugaan kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang terutama, dilihat sebagai akibat konsumsi berlebihan terhadap konten daring yang berkualitas rendah di media sosial.
Kembali ke konteks: "saya ingin melawan arus, karena cuman ikan mati yang berenang mengikuti arus." Dalam konteks per-facebook-an pro, ini adalah sesuatu yang berat. Orang-orang beranggapan bahwa interaksi itu hanya bisa dilakukan dengan berkomentar di lapak orang lain, meskipun tidak semua isi postingannya. Orang-orang beranggapan bahwa konten itu, ya, harus video reels. Orang-orang beranggapan bahwa, konten yang menarik adalah yang lucu, walaupun isinya cenderung menormalisasi pelecehan seksual.
Orang-orang yang sama ini, akan membuat konten apa saja dan membagikan ke mana saja, isi postingan mereka, yang kalau dipikir-pikir, isinya hanya duduk-duduk, ngopi, sangat amat biasa saja, tapi dibagikan ke grup-grup untuk dilihat. Saya kadang sampai bertanya-tanya, orang gila mana yang mau bagikan postingan semacam ini? Apa yang didapatkan orang lain dari postingan ini? Malu tidak ya? Kalau orang ini membagikan postingannya yang begitu-begitu saja itu. Lucu tidak ya? Kalau orang ini melihat kembali postingannya yang dibagikan ini.
Pada akhirnya, muara dari semua ini adalah uang. Uang adalah segalanya. Segalanya bisa dilakukan untuk uang. Karena itu, apapun rupa postingannya, bila dibagikan ke banyak grup, akan menghasilkan sesuatu yang dinamakan jangkauan, sesuatu yang dinamakan interaksi, sesuatu yang dinamakan tayangan. Dan, itu semua hasilnya adalah uang.
Dan, saya ingin melawan arus. Sebab, kata Rocky Gerung, karena cuman ikan mati yang berenang mengikuti arus. Orang-orang buat konten ini, ramai, lalu diikuti. Orang-orang buat konten itu, ramai, lalu diikuti. Kita nyaris tidak memiliki konten yang original sebagai bagian dari orang-orang yang memiliki gelar "kreator." Padahal kita hanya menyalin konten orang lain, tanpa pengeditan, lalu jadilah milik kita. Bisa dibilang, ada banyak cara untuk menghasilkan uang, tapi tidak dengan pembodohan atas nama hiburan. Apresiasi setinggi-tingginya untuk mereka yang rela memikirkan ide konten yang menarik, mengedukasi, menghibur tanpa melecehkan, membuat hati senang.
Dalam dunia perkontenan, ada yang dinamakan Penonton (bisa juga pembaca) Organik. Penonton organik adalah audiens atau pengguna media sosial lainnya yang menemukan konten kita secara alami, tanpa perlu kita bagikan ke grup-grup atau memaksa teman lainnya untuk menontonnya. Biasanya, kalau tidak terkenal, hanya ada satu cara untuk mendapatkan penonton organik: membuat konten berkualitas!
Salah satu panutan saya dalam dunia perkontenan ini, adalah Ferry Irwandy. Beliau adalah seorang mantan ASN yang kini mendirikan Malaka Project yang isi kontennya menghadirkan pendekatan yang berbeda di tengah dunia perkontenan yang sering kali didominasi oleh hiburan ringan, sensasi, atau komedi viral. Ferry Irwandy fokus pada konten yang lebih bermakna dan mendalam, yang seringkali menyentuh isu-isu penting dan krusial untuk kita-kita warga sipil yang masih ingin hidup aman dan nyaman. Pilihan Ferry untuk menciptakan konten semacam ini mencerminkan visinya untuk menjadikan media sosial sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar hiburan.
Tentu, bila ingin disamakan dengan Ferry Irwandy, saya tidak akan pernah bisa. Saya tidak sedang membuat konten. Saya bukan konten kereator. Namun, kita bisa membuat pilihan atas diri kita sendiri. Kita bisa terus membodohi atas nama konten kreator. Kita bisa menghasilkan banyak uang dari konten yang kita miliki. Kita juga bisa mengedukasi tanpa menghasilkan apa-apa.
Comments
Post a Comment