Sebab Cantik Itu Luka dan Luka-luka yang Lupa | Anggap saja Review Buku

Mohon maaf, yang difoto tidak cantik

Saya telah membaca buku ini hingga halaman 301. Kemudian, seseorang meminta saya untuk membuat review buku ini. Tentu saja setelah saya memberitahunya terlebih dahulu, bahwa saya sedang membaca buku Cantik Itu Luka. "Mantap. Setelah itu, kalau bisa dibuatkan reviewnya," katanya yang lantas tidak mampu saya tolak. Selain karena ini adalah sebuah tantangan, membaca buku ini di tengah semangat yang naik turun adalah pekerjaan yang cukup berat. Di tambah, waktu kuliah dulu, pekerjaan review buku tidak pernah membuat saya sesemangat ini. Sebab, seingat saya, tidak ada dosen yang memberikan tugas review buku.

Berangkat dari alasan tersebut di atas, maka saya tidak tahu harus menulis apa tentang buku ini. Sebab, ketika saya membaca judulnya, saya telah mencoba menerka, bahwa isi dalam buku ini adalah tentang "cantik" dalam segi fisik. Namun, dugaan saya salah. Saya tidak tahu, bahwa "cantik" di sini adalah seorang tokoh dalam cerita. Dan rupanya, Eka Kurniawan tidak hanya menceritakan tentang Si Cantik, namun juga tentang Dewi Ayu, seorang perempuan keturunan Belanda (juga seorang pelacur) yang sangat dihormati oleh penduduk Halimunda. 

Penulis dalam hal ini juga melibatkan banyak tokoh. Selain Dewi Ayu yang sudah saya sebut lebih dulu di atas, juga ada Si Cantik (saya kira ini tokoh utama) dan Rosyinah pembantunya, ada anak-anak Dewi Ayu: Alamanda, Adinda, Maya Dewi. Lalu muncul Maman Gendeng, Sondacho, Kamerad Kliwon dan banyak lainnya kesemuanya menjadi penting untuk melengkapi isi cerita_yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu. 

Rangkaian cerita dalam buku ini diawali dengan peristiwa kebangkitan Dewi Ayu di siang bolong. Dan yang lebih anehnya, ia bangkit setelah 21 tahun dalam kubur, setelah anaknya Si Cantik yang wajahnya buruk rupa itu tumbuh dewasa. Di sini, saya tidak akan menceritakan keabsurban ceritanya. Jadi, jangan terlalu banyak berharap, ketika membaca ulasan ini akan lengkap seperti orang-orang kebanyakan.

Aneh memang. Eka Kurniawan dalam buku ini tidak memberikan porsi yang banyak untuk Si Cantik seperti tebakan saya sesuai judulnya Cantik Itu Luka. Tapi ruang yang kecil itu cukup memperkenalkan kita, bahwa cantik Itu memang sebuah luka. Sebab, Cantik Itu Luka. Saya membaca buku ini tidak dengan serius. Karena itu, ketika saya memulainya pada siang menjelang sore di tanggal 2 Juni lalu dengan membaca satu halaman, saya akhirnya baru menyelesaikan buku ini pada tanggal 15. Sungguh waktu yang cukup lama untuk seorang pembaca malas seperti saya.

Tapi, membaca buku ini, kita seakan dibawa pada peristiwa mistis di mana seperti yang saya katakan di atas, cerita ini memang dimulai ketika Dewi Ayu bangkit. Ada juga hantu komunis dan hantu-hantu lainnya. Termasuk sosok tak terlihat yang mengajari Si Cantik segala hal. Tapi lagi (banyak tapi), saya tidak akan menyentuh hal-hal abstrak itu. Karena itu, izinkanlah saya memberikan sedikit tanggapan dari hasil membaca buku ini.


Gas ko rem?

Novel ini secara keseluruhan bercerita tentang pelacuran. Bahasa dalam buku ini boleh dibilang sedikit vulgar untuk kita yang tidak biasa dengan sex education. Yah, serempet dikitlah, tanpa menimbulkan hasrat yang membabi buta pada pikiran kita. Yang jelas, otak saya masih belum begitu mampu mencerna isi buku ini dengan baik. 

Mungkin disesuaikan dengan konteks pada masa itu kali yah? Bahwa di masa penjajahan, seorang perempuan dipaksa untuk menjadi pelacur. Dari sana, kehidupan dalam dunia kepelacuran itu terus berlanjut hingga Dewi Ayu, tokoh dalam cerita itu memiliki tiga orang anak. Itu belum cukup. Hingga pada kehamilannya yang ke empat, yaitu ketika Si Cantik lahir dalam keadaan buruk rupa. Si Cantik yang jauh meleset dari dugaan saya_sesuai pengakuan dalam buku itu, Si Cantik itu buruk rupanya.

Saya tidak berani bilang suka atau tidak pada suatu bacaan, karena bagi saya, membaca buku entah apapun jenisnya ibarat mengisi gelas kosong dengan air. Bila tak mampu menampungnya lagi, ia akan tumpah. Yang menarik bagi saya dalam buku ini selain menceritakan sisi sejarah pendudukan Jepang, sedikit tentang Belanda dan PKI (saya tidak tuliskan tentang ketiga hal ini) adalah sosok perempuan bernama Dewi Ayu itu sendiri. Ada tali pengikat yang menghubungkan antara Dewi Ayu dengan paham feminis.

Dari semua tokoh yang ada, saya memang menyukai sosok Dewi Ayu, sosok pandai yang mau tidak mau, harus saya akui bahwa ia menghilangkan gambaran tentang perempuan yang lemah. Ia adalah seorang pekerja keras, juga sangat peduli pada anak-anaknya meski ia seorang pelacur. Selain itu, Dewi Ayu adalah sosok yang mampu memanfaatkan tidak saja kecantikannya, tetapi juga juga kecerdasan pikirannya. Bahkan, ketika Dewi Ayu dalam keadaan terdesak hingga ia menjadi perempuan yang "menjajakan tubuhnya" ia tak sekalipun menyesal. Malah sebaliknya, ia bisa memanfaatkan "kemerdekaannya" itu untuk mendulang rupiah.

"Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada."

~ Dewi Ayu (pada Maman Gendeng): halaman 127

Cantik Itu Luka sesungguhnya mau menunjukkan kepada pembaca, bahwa cantik itu memang sebuah luka. Lihat saja kisah Ma Gedik yang menanti Ma Iyang, Si Bule Belanda yang memaksakan cintanya pada Ma Iyang, Si bule Belanda yang kawin sedarah, lalu Dewi Ayu dan anak-anak yang kemudian memanfaatkan kecantikannya_mengakibatkan banyak hati yang terluka. Dan pada akhirnya, anak-anak Dewi Ayu mendapatkan kutukan.

Membaca buku ini, saya kemudian memperoleh kesimpulan, bahwa cantik sesungguhnya adalah luka itu sendiri. Sebab, cantik dapat membawa penderitaan. "Mereka" yang cantik menjadi korban ketika masa pendudukan Jepang, dipaksa untuk menjadi tahanan. Salah satunya yang menjadi tahanan adalah Dewi Ayu. Dari penjara inilah kehidupan Dewi Ayu dalam dunia kepelacuran dimulai. Ketika itu, diawali dari keinginannya untuk mendapat obat dan dokter untuk kesembuhan ibu sahabatnya, Alamanda (yang kemudian menjadi nama anaknya yang pertama). Lalu ia menjajakan tubuhnya pada seorang Jepang. Jauh sebelum itu, Dewi Ayu juga pernah memaksa Ma Gedik_yang secara garis keturunan (dari Ma Iyang) harusnya adalah kakeknya untuk menjadi suaminya. 

Selanjutnya, Dewi Ayu bersama teman-teman diangkut ke sebuah rumah pelacuran milik Mama Kalong. Di rumah pelacuran itulah Dewi Ayu menikmati (sesungguhnya 'menikmati' bukan kata yang tepat) hidupnya sebagai calon pelacur. Karena itulah, Dewi Ayu menjadi satu-satunya wanita yang tidak menyesal setelah diperkosa. Ia juga menjadi satu-satunya yang tidak trauma atas perkosaan itu.

Cantik Itu Luka menampilkan perempuan dengan konsep kecantikan yang sudah mengakar. Dewi Ayu dan juga anak-anaknya adalah gambaran sempurna bagi kecantikan itu sendiri, bagaimana perempuan (yang sesungguhnya sudah cantik) memanfaatkan kecantikannya untuk merubah nasib. Di sini, saya beranggapan, bahwa cantik itu bukan luka seperti judul buku ini, tetapi cantik adalah privelage yang sangat menguntungkan. Karena dengan menjadi cantik, perempuan akan dengan mudah mendapatkan jodohnya. Membaca buku ini, membuat saya bertanya tanpa mendapatkan jawaban dari dalam buku ini, apakah semakin cantik (sesuai deskripsi media) seorang wanita, maka ia bisa memanfaatkan kecantikannya (tubuhnya) untuk memperoleh segala sesuatu itu dibenarkan?

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena saya percaya, saya itu ganteng, bukan cantik 😁

Akhir kata, sebenarnya, saya ingin mengutip banyak kalimat yang kata orang-orang masa kini itu (kalimat) adalah quotes yang menarik. Seakan mengaminkan pendapat mereka bahwa quotes adalah menarik, maka saya mengutip salah satu kalimat yang sesuai dengan judul tulisan ini "....dan Luka-luka yang Lupa":

"Bukan urusan manusia memikirkan Tuhan itu ada atau tidak, terutama jika kau tahu di depanmu manusia satu menginjak manusia yang lain."

~ Kamerad Salim (pada Kiwon): halaman 175.

Bagi saya, kalimat itu adalah Luka yang Lupa. Luka karena kita masih menginjak manusia lainnya: yang berkuasa menindas yang lemah, yang kaya semakin kaya, yang miskin saling mencari menjatuhkan sesamanya yang berusaha bangkit, perempuan menindas perempuan, dan masih banyak lagi. Lupa karena kita tahu bahwa perbuatan itu salah, tapi kita masih melakukannya. 

Di akhir buku ini, saya memaksa otak saya untuk jadi tahu bahwa Cantik Itu Luka sesungguhnya adalah ungkapan sindiran kepada pemilik kata "cantik" itu sebab dengan kecantikannya, mereka cenderung memberi luka. Ini adalah pengakuan saya sendiri setelah selesai membaca buku Cantik Itu Luka, tanpa menggeneralisasi semua yang cantik memberi luka. Tapi kemudian saya juga tetap pada pendirian saya: Bahwa sesungguhnya cantik itu bukan rupa, melainkan perempuan.

"Sebab Cantik Itu Perempuan."

Oh, iya, rupanya kata-kata saya belum berakhir. Maka, terima kasih kepada orang baik yang memberi saya buku ini. Saya ingat, bagaimana buku ini menjadi hadiah untuk saya. Terima kasih pula pada pesan singkat yang bentuk kalimatnya telah saya ubah pada paragraf pertama di atas. Terima kasih sudah menyumbang................

Comments

  1. Eka menyimpan suatu pesan bahwa ada yang tidak berubah, yaitu betapa semena-menanya perlakuan terhadap perempuan yang sudah ada sejak era penjajahan dahulu (mungkin sedikit banyak juga ditemukan hingga sekarang). Cantik Itu Luka penuh ironi.
    Dari fiksi dan kata2nya yg fulgar .

    ReplyDelete
  2. Cantik bukan hanya tubuh, rupa apalagi perempuan tapi cantik itu adalah manusia.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)