Kalau Cari Sensasi Bisa Bikin Viral, Mengapa Konten Mendidik Tidak?

Pernah nggak, sih, kamu mikirnya gini? Kita kok suka banget protes pada konten-konten yang tidak mendidik yang mudah viral, sedangkan anak berprestasi malah sebaliknya. Kita protes sekaligus bingung kenapa orang-orang macam si Fajar Sadboy mudah diundang tampil dalam TV sedangkan Nono siswa berprestasi dunia karena menang lomba matematika internasional sudah seminggu berlalu, viralnya baru belakangan. Atau, kita bersungut-sungut ketika melihat personil Citayam Fashion Week yang begitu diagung-agungkan, sedangkan dua bersaudara Mischka dan Devon, peraih puluhan medali olimpiade matematika tidak banyak yang tahu. 

Pada kesempatan lain, pernah nggak, sih, kita memuji-muji teman kita yang buat tulisan melankolis bin bucin, galau, penuh cinta dan lain sebagainya? Kita lalu memberinya semangat untuk terus berkarya. Misalnya ketika seorang dalam kenalan kita di media sosial membuat puisi penuh haru akibat putus cinta dan lain sebagainya, kita lalu mengapresiasinya. 

Apa yang kemudian membedakan karya-karya itu dengan kelakuan Fajar Sadboy yang mudah mewek karya patah hati, sedangkan isinya sama? Bedanya, teman atau kenalanmu itu membuatnya jadi tulisan yang dibagikan ke media sosialnya, sedangkan si bocah yang kalian juluki Sadboy itu berada dalam bentuk visual. 

Mengapa kata-kata bucin seseorang yang dituliskan di media sosialnya mudah sekali kita bagikan? Sementara Fajar yang mudah menangis itu tidak kita terima. Sambil terus memantau beberapa videonya, lalu tiba-tiba ada yang terlintas di pikiran kita: kenapa anak berprestasi tidak bisa viral sementara yang mengumbar sensasi mudah sekali viral? 

Sesederhana jawaban yang terlintas di pikiran saya, jawabannya, ya, karena kita masih menikmati itu, hingga memberikan ruang pada mereka. Padahal, ruang publik masih terbuka lebar untuk orang-orang kayak kita yang tidak rela orang-orang berprestasi malah tidak viral daripada orang-orang yang mengumbar sensasi. Hanya saja, ruang publik itu, sulit untuk diwujudkan. 

Maka, satu-satunya cara agar suaramu didengar, keluhanmu bisa difasilitasi, protesmu pada hal-hal yang tidak mendidik malah yang menjadi viral daripada hal-hal yang berbau prestasi, ciptakan ruang itu! Buatlah postingan-postingan yang mendidik! Perbanyak lini masa media sosialmu dengan hal-hal yang bisa kamu pelajari! Blokir semua tontonan yang tidak penting yang dibagikan oleh para konten kreator yang tidak mendidik! Kemudian, buatlah ruangmu itu seperti yang kamu inginkan. Bila tidak ada yang menyukainya, ya, selamat. Kau telah berhasil untuk membuat dirimu lelah hanya untuk memikirkan hal yang berguna. 

Apakah itu terbayar? Saya kira, bila memang tujuan awalmu untuk mendidik, itu akan terbayar dengan atau tanpa penonton. Ada atau tidak ada pembaca. 

"Tapi kan, masalahnya, generasi kita adalah generasi yang haus akan hiburan, maka hal-hal yang terlihat menghibur akan dengan mudah viral. Cari sensasi misalnya. Bikin drama perselisihan artis. Buat konten prank. Goyang twerking menyodorkan pan*t dan lain sebagainya."

Nah, kalau kau sadar situasinya demikian, ngapain teriak-teriak, protes sana-sini, buat tulisan panjang lebar soal anak yang berprestasi tapi tidak viral karena kalah dengan orang-orang yang cari sensasi? Kalau kau mau orang-orang tertarik, keluarkan idemu, gagasanmu, tunjukkan pada mereka, bahwa materi mendidik yang kita berikan, jauh lebih bermanfaat, jauh lebih baik, jauh lebih berguna. Setelah itu, buatlah! Mulai dari menceritakan permasalahan apa yang mau kau benahi, bagaimana cara penanganannya, kembangkan kreatifitasmu dari ide-ide atau gagasan yang telah ada padamu. 

Kalau sudah, selamat. Memberikan konten-konten dalam bentuk tulisan maupun visual memang berat. Tapi, tidak ada salahnya bila mencoba. Selamat menyelami lautan manusia yang haus akan konten menghibur. Mari bersama-sama menciptakan ruang sehat yang kita inginkan, sambil sesekali menertawakan raja-raja kecil yang minta jabatan sampai 9 tahun atau para politisi yang minta tambah masa bakti satu periode lagi. 

Salam ☕

Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)