Perihal On Time
Hari masih teramat pagi saat saya diantar bapak tiba di bandara. Sebagai orang yang pernah mengagungkan kata 'on time', saya mencoba menunjukkan lagi bahwa saya masih orang yang sama. Maka, tibalah saya di bandara lebih dari dua jam sebelum keberangkatan. Tentu, rasa kantuk harus ditahan.
Sambil menunggu masuk ke ruang tunggu, saya dan bapak masih duduk di luar. Sudah lebih dari satu jam kami di luaran. Sesekali mengobrol. Berkali-kali diam-diaman seperti orang yang sedang bermasalah. Namun, percayalah ini adalah potret bapak dan anak yang sering terjadi. Setidaknya, cocoklogi ini berdasarkan pengalaman sendiri, hampir setiap harinya. Jadi, tolong, jangan dibantah.
Orang-orang menunggu di luar. Beberapa mondar-mandir menuju ruang check in untuk mengecek apakah sudah boleh masuk atau belum. Kami masih tetap di luar. Di samping kami, ada penjual yang menjajakan dagangannya. Kopi, salah satunya. "O nunna ngia pa-dhanggangu kopi ya," kata bapak membuka percakapan. "A'a," saya menjawab singkat.
"Mbuhangu pa-unnu nyummu?" Kali ini bapak yang menawarkan saya kopi. Tidak seperti biasanya. Dalam hati, saya sangat gembira karena bapak akan mentraktir saya.
"E, ndi'a," jawab saya singkat. Saya beralasan karena sudah minum kopi dinihari tadi. Jadi, saya tolak. Pikir saya, bapak kemudian akan menawari saya untuk dibelikan makan. Namun, ternyata tidak. Sebabnya bukan karena tidak punya uang, tapi tidak membawa uang. Dinihari tadi, saat hendak berangkat, kami hanya meminta uang karcis masuk bandara di mama. Lalu mama memberikan 10 ribu. Cukup.
"Uang sepuluh ribu untuk dua orang. Hehe."
Tiba di bandara, kami adalah orang paling pertama yang masuk, selain petugas. "Wah, masih terlalu pagi ini," kata penjaga pintu masuk. Saya sudah menduga kalau-kalau ucapan ini disebabkan karena uang kembalian tidak ada. Dan benar saja. "Tidak ada uang kembalian ini, om. Om sudah orang pertama yang datang."
Tanpa pikir panjang, kami sepakat untuk membiarkan saja sisa uangnya. Lalu, kami di bandara sebagai orang pertama, lebih dari tiga puluh menit. Saat hampir satu jam, barulah ada beberapa yang datang. Ternyata, jadi orang on time itu, semenyeramkan ini. Sudah buru-buru tidak makan, hanya berbekal kopi segelas.
Pada akhirnya, tawaran bapak tadi hanyalah pembuka percakapan basa-basi. Sesungguhnya kami tidak bawa uang sepeserpun, selain uang masuk. Daripada terkesan sia-sia, saya lalu mengambil foto berdua dengan bapak. Lagi-lagi seperti biasa, foto yang ada adalah hasil foto diam-diam, sembunyi-sembunyi. Saya terlalu canggung untuk sekadar meminta, "bapak, ayok kita foto bareng." Namun, kau tahu? Hasilnya keren, bukan? Siapa dulu, dong? Anak dan bapak 😅
.
.
.
1. O, itu tempat jual kopi.
2. Iya.
3. Kamu mau minum?
4. E, tidak.
Comments
Post a Comment