Ulang Tahun, Foto Profil dan Kebiasaan Saya

Pukul 06.05 pagi tadi, adik saya, @Semi Hunga mengirimkan pesan WhatsApp ucapan selamat ulang tahun. 3 detik kemudian, pesan ucapan ulang tahun satu lagi masuk. Kali ini pesan itu dikirimkannya di group WhatsApp keluarga. "Apa kirim ucapan group, supaya apa?" tanya saya. 

Rasanya, saya penasaran sekali akan jawaban yang diberikan adik saya. Karena itu, agar ia membalasnya dengan cepat, saya kirimkan lagi emoji marah sebanyak tiga kali. "Supaya mereka memberikan ucapan," balasnya. Mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang tergabung dalam group itu, yakni group keluarga.

Saya tidak puas dengan jawaban adik saya. Sebab, bagi saya, memberi ucapan (entah apapun itu) agar diikuti oleh orang lain, rasanya tidak begitu penting dibandingkan dengan ucapan langsung, misalnya dengan memberi pesan singkat yang hanya saya, pemberi ucapan dan Tuhan yang tahu.

Pada detik ke sebelas, saya membalasnya lagi, "tidak hapus? Saya blokir," begitu ancaman saya agar foto saya dihapus dalam group. Tak disangka, adik saya memang "penurut" dalam tanda petik. Foto dalam group terhapus. Begitu juga dengan ucapan ulang tahun yang dikirimkannya pukul 06 lebih 5 detik tadi.

"Salah semua," balasnya.

"Iya, salah," debat saya.

"Maaf bos," balasnya lagi. 

Balasan terakhir ini sebenarnya tidak saya sukai. Sebab, berkali-kali saya memberitahukan padanya, "bahwa jika dalam keadaan benar, debat saja. Tak apa." Tapi adik saya memilih mengalah. Sebagai seorang kakak yang paling didengarkan ketika memberi nasihat, saya pun tidak lagi memberikan tanggapan atas permintaan maaf tanpa kesalahan itu. (Belakangan saya tahu, bahwa meminta maaf tanpa berbuat salah, itu tidak melulu salah).

Saya kemudian mengalihkan pembicaraan kami, namun masih berkaitan dengan ucapan ulang tahun itu. "Saya tanya kenapa harus mengharapkan orang lain ikut ucap????" tanya saya. Seperti biasa, jika merasa dituntut untuk menjawab, adik saya memilih diam. Diamnya ini sering saya tanyakan secara pribadi bila ada pesan-pesan di group WhatsApp yang sengaja tidak dibalasnya. Rupanya alasan itu ia gunakan karena tidak ingin berdebat. "Malas saya. Sebentar panjang lagi," begitu ia menjawab ketika ada pesan-pesan di group WhatsApp tidak dibalasnya meski telah membacanya.

"Saya tanya kenapa harus menggarapkan orang lain ikut ucap???? Kenapa?" tanya saya lagi. Saya betul-betul penasaran akan jawabannya. Sebab, biasanya, saya sering mengikutinya juga ketika teman atau seseorang yang dikenalnya berulang tahun, paling tidak, ucapan itu ia berikan lewat dinding Facebooknya. 

"Supaya sama seperti orang lain. Itu saja," balasnya. Rupanya, motivasinya memberikan ucapan selamat ulang tahun di group WhatsApp (atau mungkin di dinding Facebook?) adalah agar terlihat seperti orang-orang kebanyakan. Ketika berulang tahun, doa dan harapan dipanjatkan dalam dinding Facebook, story WhatsApp dan media sosial lainnya.

"Pertama, ini tidak penting. Kedua, nyum harus jadi diri sendiri. Ketiga, jangan ikut-ikutan orang lain. Ke empat, nyum percaya doa di media sosial? Atau doa kasih ucapan hanya Tuhan dan nyum yang tahu? Kelima, pernah lihat saya posting tulisan "HBD To Me"? Tidak! Karena kalau ulang tahun itu, orang lain mendoakan, bukan kita minta perhatian supaya dapat ucapan. Terakhir, tidak apa-apa story, tidak apa-apa muat di Facebook. Tapi selama saya tidak lihat, saya tidak akan balas komentar atau apalah. Kecuali pesan pribadi," demikian balas saya atas alasan adik saya memberi ucapan agar sama seperti orang lain.

Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya dan memberinya izin untuk membolehkannya mengupload foto saya di media sosialnya. Tentu saja ia mengupload foto saya setelah saya memberinya izin😌

Beberapa saat kemudian, adik saya @Yambu Ny Bos (sepertinya belum berteman di Facebook Karena akun lebih dari satu) mengubah foto profilnya dengan foto saya beserta caption ucapan selamat ulang tahun seperti yang sering saya lihat. Sebelum itu, adik saya yang lain @Marselina Rambu memberikan ucapan selamat ulang tahun di dinding Facebooknya. Lalu setelah itu, mengubah foto profilnya dengan foto saya dan membubuhinya dengan kalimat ucapan selamat ulang tahun. Selain itu, di story WhatsApp juga saya diucapkan selamat ulang tahun. Sungguh, saya hari ini mendapatkan perhatian luar biasa dari adik-adik saya. 

"Terima kasih, adik. Oh iya, tidak perlu sampai mengubah foto profil segala. Itu tidak penting. Kalau boleh, hapus saja. Saya tidak biasa berdoa dan didoakan di Facebook," begitu komentar saya ketika saya melihat foto saya dijadikan foto profil. Kata-kata tersebut saya sampaikan lewat pesan pribadi WhatsApp. Dan ya, adik saya yang ini juga seorang penurut (tanpa tanda petik). "Iya, kk. Maff kk. Saya sudah menghapus foto profilnya," balasnya menanggapi kata-kata saya.

Saya tidak tahu dan belum mau tahu, apa alasan dibalik ucapan ulang tahun dengan mengubah foto profil ini? Saya sudah sangat sering melihatnya dan akibat keseringan ini pula saya jadi tidak ingin mendapatkan perlakuan serupa. 

Bagi saya, memberikan ucapan selamat ulang tahun (atau ucapan lainnya) dengan cara seperti itu, menunjukkan bahwa orang tersebut sangat sangat kurang diperhatikan. Ya, orang-orang hanya akan memberi perhatian ketika ketika melihat (baca: mengikuti) orang lain. 

Mengapa tidak mengucapkan dengan cara memberi pesan selamat ulang tahun secara pribadi? (dengan cara menelfon mungkin) Bisa jadi, jawaban toka-toka saya adalah karena si pemberi ucapan semacam itu ingin menunjukkan eksistensinya: di hadapan penerima ucapan: melalui kata terima kasih dan di hadapan teman-temannya yang lain: melalui ucapan selamat serupa. Tak apa, itu kebiasaan mereka. 

Tapi yang jelas, saya secara pribadi, bila ada yang berulang tahun (kalau saya hafal tanggalnya), saya memberikan ucapan melalui telepon. Ya, saya menelepon mereka agar perhatian yang saya berikan, hanya mereka yang tahu. Dan saya mendoakan mereka agar doa saya hanya saya dan Tuhan yang tahu. Kadang, saya juga mengirimkan pesan singkat. Yang ini, lebih sering setelah hari ulang tahun itu lewat atau beberapa hari setelahnya.

Itulah alasannya ketika berulang tahun, saya tidak pernah mengubah foto profil saya atau sekadar memosting foto pribadi saya dengan caption "HBD To Me." Bagi saya, orang-orang yang memberikan perhatian kepada saya adalah orang-orang yang memang perhatian kepada saya, bukan karena ikut-ikutan. Bagi saya, orang-orang yang perhatian pada saya adalah mereka yang mengingat saya, bukan ketika diingatkan.

Eksperimen pribadi saya beberapa tahun terakhir adalah dengan menyembunyikan tanggal lahir di Facebook. Dan kau tahu apa yang terjadi? Saya hidup tanpa memikirkan ucapan apa yang akan saya terima di dinding Facebook setiap kali saya berulang tahun😂 dan dari sini pula, saya mulai membiasakan diri dengan hal itu: berulang tahun, diucapkan secara pribadi dan membalas juga secara pribadi. Kecuali komentar di dinding Facebook yang di-posting oleh yang orang lain atas ulang tahun saya dan dibalas komentar ucapan selamat ulang tahun oleh orang lain yang berbeda karena melihat postingan itu, tidak saya balas. Tapi terima kasih karena sudah (ikut-ikutan) mendoakan saya. 

Oh iya, kebiasaan saya yang lain adalah ketika ada teman atau kerabat yang mengucapkan selamat ulang tahun, saya tidak memosting ulang hasil screenshot ucapan tersebut di story WhatsApp saya. Alasannya sederhana. Selain memosting kembali ucapan yang diucapkan oleh orang tidak penting, bagi saya, screenshot itu bukan bentuk terima kasih kepada pemberi ucapan (karena saat diucapkan, tentu kita membalasnya dengan ucapan terima kasih secara langsung). Screenshot ucapan ulang tahun lalu memostingnya agar memenuhi memori, bagi saya itu menunjukkan eksistensi kita yang masih tidak terlihat. 

Ini saya, ini kebiasaan saya ketika berulang tahun. 

Terima kasih telah membaca.
Terima kasih pula kepada yang tulus mengucapkan selamat ulang tahun. 

Edit:
Lalu untuk apa tulisan ini dibuat kalau bukan untuk mendapatkan ucapan selamat ulang tahun?
Untuk mengingatkan, bahwa ulang tahun saya selanjutnya tidak akan membalas ucapan di media sosial. Kecuali, chat pribadi. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)