Warisan Terbaik adalah Kenangan

Kita berdua pernah sepakat, bukan? Bahwa kau jadi Bandara dan aku jadi pelabuhan yang sama-sama menolak untuk patuh pada takdir: tempat persinggahan sementara. Iya, waktu itu kita sama-sama dilanda asmara. Kau dengan rasamu padaku dan aku dengan rasaku padamu. Indah.

Kita berdua pernah berjanji, bukan? Jika Semesta berkehendak, kita kan abadi meski orang-orang terus meragukan. Bahkan, takdir turut berkontribusi membantu mereka merenggangkan kita. Toh, nyatanya kita berhasil mengalahkan takdir. Dengan tertatih, terluka, berdarah, hampir mati. 

Kita berdua pernah bersama, bukan? Merangkai mimpi, merawatnya, membesarkannya, hingga ia tumbuh begitu bahagia, juga angkuh. Hanya inginkan tuannya bahagia. Saking bahagianya, kita sampai lupa, bahwa kita adalah tumpukan patah yang terus tumbuh bersama. Aku dengan patahku yang berusaha kusembuhkan dan kau dengan patahmu yang selalu kau nikmati. 

Kita berdua pernah saling memiliki, bukan? Menikmati malam bersama, pagi yang indah, kopi yang pekat, senyum yang hangat dan bibir yang basah. Sebelum semuanya digantikan air mata yang membasahi pipimu. Tidak. Aku terlalu egois bila hanya menyebut air mata lebih menyukai pipimu. Sebab, aku pun juga. Tidak hanya merasa, tapi ia datang berkali-kali. 

Kita memang pernah. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Saat orang-orang menikmati hidupnya dan kita menikmati rasa yang ada. Namun, seseorang telah mencuri kata pernah itu dari kita hingga menyisakan kita yang kini tinggal kenangan. Entah jadi apa kelak, aku sendiri tidak tahu. Satu hal yang pasti, kau abadi. Sebab, kau telah mewariskan kenangan yang takkan terlupakan.

"Berterima kasihlah kepada masa lalu, karena mereka yang membentukmu hari ini," katamu. Aku hanya bisa tersenyum, tertawa dalam hati sambil memikirkan masa lalu mana yang membentukku hingga seperti ini? Karena kau satu-satunya yang pernah kumiliki, sebagai yang pertama, yang menerimaku tanpa syarat adalah kamu.


Comments

Popular posts from this blog

Buah Nahu, tapi Bukan Buah Sekarang

Menggali Akar Kekerasan Seksual di Waingapu: Normalisasi Konten Seksis di Media Sosial sebagai Pemicu yang Terabaikan?

NATAL TANPAMU (MAMA PAPA)